Laki-laki di depanku, yang duduk di kursi goyang sambil menjegang, yang sesekali pandangan matanya mengarah ke timur sembari memicingkan mata karena tampias sinar matahari pagi yang menyentuh lantai kayu berwarna coklat itu memantul ke arah wajahnya, sekalipun usianya sudah 62 tahun tapi tak terkenal di negeri ini. Mungkin tak lebih dari 100 orang di dunia ini yang mengenalnya. Sejak usianya 25 tahun, semua urusan hidupnya berhenti hanya pada urusan kumis, jenggot, dan cambang.
Semenjak bergabung dengan sebuah perusahaan yang memproduksi alat cukur kumis, waktunya habis untuk melanglang negeri ini, meriset bagaimana kebiasaan orang di setiap wilayah negeri ini mencukur kumis, jenggot, dan cambang mereka. Di situlah petualangannya dimulai. Semester pertama dia bekerja, sudah memberikan sebuah kertas kerja tipis tapi cukup brilian bagi perusahaan: sebuah pemetaan sederhana wilayah-wilayah negeri ini berdasarkan rerata ketebalan kumis, jenggot, dan cambang. Dari kertas kerja inilah, perusahaannya mengeluarkan dua strategi pemasaran.
Strategi pertama, memperkenalkan konsep “bersih dan rapi” pada wilayah-wilayah yang sebagian besar penduduk mereka dengan pertumbuhan kumis, jenggot, dan cambang yang cukup cepat dan lebat. Perusahaan itu lalu menggandeng para ulama dan pendeta untuk menyampaikan pesan kepada umat mereka bahwa bercukur itu baik di hari Jumat sebelum pergi salat Jumat, dan di hari Minggu sebelum ke gereja. Strategi kedua adalah mengenalkan konsep “kelimis” bagi wilayah-wilayah dengan penduduk yang pertumbuhan kumis, jenggot, dan cambang mereka yang begitu lebat. Mereka mendekati para bintang film untuk mau menyisakan kumis sebagai satu-satunya simbol kejantanan. Tapi sesungguhnya yang paling digeber adalah pendekatan mereka ke para sopir bis antarkota dan bis malam.
Perusahaan inilah yang kemudian memperkenalkan bagaimana alat cukur kumis menjadi bagian penting dari sopir selain sisir. Mereka memamerkan alat cukur rambut yang kinclong, dengan lekukan yang mewah, dengan ketajaman siletnya, lalu membuka kaca jendela bis, menggeser spion ke arah wajahnya, mencukur dengan hati-hati dengan raut muka yang dibuat sedingin mungkin. Para penumpang, terutama laki-laki, kemudian diam-diam pergi ke toko kelontong untuk menanyakan alat cukur kumis itu. Kemudian mereka membelinya dan saling dipamerkan ke tetangga.
Laki-laki di depanku itu, yang sesekali beranjak berjalan di serambi rumahnya lalu duduk lagi, yang mencecap teh di cangkirnya dengan pelan, kemudian punya karier yang cukup gemilang. Tapi menanjaknya karier itu bukan berasal dari risalah tipisnya yang penting itu, melainkan dari kemampuannya menyelesaikan masalah yang lain.
Kampanye bersih, rapi, dan kelimis, cukup berhasil. Tapi yang diuntungkan atas kampanye itu bukan hanya perusahaannya melainkan juga perusahaan-perusahaan produsen cukur kumis lain. Sementara untuk menjangkau kawasan-kawasan yang jauh, biayanya terlalu tinggi. Laki-laki itulah, di usianya yang cukup muda, kemudian menggagas kerjasama distribusi dengan produsen sabun, pasta gigi, dan sampo. Tapi perusahaan produsen pernik-pernik kebersihan itu tak begitu menggubris sebab rabat dari alat cukur kumis tak seberapa. Dan pembeliannya pun punya jangka waktu yang lama. Seseorang bahkan bisa mengganti alat cukur kumisnya setahun sekali.
Tapi di saat itulah, laki-laki itu menawarkan satu hal yang dia tahu persis di bagian itu dia punya kelebihan. Dia bilang, aku akan bantu kalian supaya mereka makin sering membeli produkmu sebagai balasan jika kami bisa menitip barang dagangan kami.
Semenjak itulah, ada belasan startegi dia keluarkan untuk membantu perusahaan lain agar produknya bisa menjangkau daerah-daerah sulit. Dia mengonsep “mandi sehari dua kali” tentu saja harus dengan sabun, bukan dengan batu. Dia memastikan ke konsumen bahwa sampo berbeda dengan sabun. Karena itu mereka harus membeli dua benda yang berbeda. Kebiasaan penduduk di banyak pelosok negeri ini yang mencuci rambut mereka sama dengan sabun yang mereka pakai, mulai luntur. Dia juga ikut mematangkan konsep “gosok gigi sejak dini” dengan menggandeng Puskesmas dan sekolah dasar.
Dia orang yang boleh dibilang jenius untuk hal sejenis itu, tapi tidak banyak yang mengenalnya. Tidak genap 100 orang ketika akhirnya dia pensiun di usia 62 tahun, sekalipun perusahaannya menawari dia untuk bekerja terus.
Tapi kariernya di perusahaannya sendiri makin mengkilap ketika dia ikut memoles strategi kampanye bahwa perempuan, bukan hanya laki-laki, yang butuh alat cukur kumis. Selamaa hampir 5 tahun dia mematangkan konsep yang dipertajam terus-menerus tentang ketiak dan betis yang “bersih”. Dan bukan hanya itu, salah satu prestasi terbesarnya dalam sejarah alat cukur di negeri ini adalah ketika di usia kurang dari 50 tahun, dia melakukan gebrakan gemilang: alat cukur kompak sekali pakai.
Produk itulah yang kemudian mendulang keuntungan luar biasa. Alat cukur kumis yang semula hanya diganti siletnya saja, berhasil disentuhnya menjadi sebuah alat cukur dengan silet berlapis, yang tidak tidak bisa diganti dengan silet biasa, dan karena tak begitu mahal, maka cukup sekali beli, lalu dua atau tiga bulan kemudian beli lagi.
Sebetulnya dia pensiun di usia 55 tahun dengan jabatan yang mentereng. Dia tahu kalau usia kerjanya pasti akan diperpanjang. Dan memang benar. Dia juga tahu kalau sampai usia 70 tahun pun, tenaganya masih terpakai di perusahaan ini. Awalnya, dia mengira bakal seperti itu. Sebab dia sudah kadung cinta dengan urusan cukur-mencukur.
Tapi kemudian dia berubah pikiran di usia 61 tahun. Setahun persis yang lalu. Hingga kemudian membuat surat pengunduran diri, yang direspons oleh pihak perusahaan dengan negosiasi agar dia mau memperpanjang setahun.
Di pagi inilah, dia ingin menceritakan kepada seseorang, kenapa dia mengundurkan diri. Bisnis telah berubah, katanya. Sekarang musuh alat cukur bukan produk alat cukur dari perusahaan lain. Dia mencecap cangkir tehnya.
Musuhnya adalah toko swalayan yang menjamur luar biasa. Kamu pasti heran, mestinya itu lebih baik, bukan? Tidak. Tidak baik. Karena mereka mengimpor alat cukur dadi China dengan harga yang murah, lalu memberi merek sendiri.
Tapi yang paling gila adalah karena mereka hanya memajang barang itu, dan menyingkirkan barang kami dari rak pajang. Konsumen tidak mau berpikir panjang. Yang mereka tahu adalah mereka butuh alat cukur, dan harus segera bercukur. Persis seperti yang kubayangkan dulu. Tapi aku tak pernah membayangkan produk kami disingkirkan dari rak pajang.
Dia mengambil nafas panjang. Untuk pertama kalinya dia kemudian melihat ke arah wajahku. Lalu tersenyum.
Begitulah, katanya.