Seandainya Bustaman, seperti biasa, tidak mau mengangkat telepon dari siapa saja sebelum pukul sembilan pagi kecuali dari ibunya, tentu dia tidak akan menghadapi salah satu persoalan yang paling rumit di hidupnya. Di seberang, bergantian tiga orang berbicara kepadanya.
Makrus bicara. Lalu dilanjut Somad. Kemudian Lina yang sesenggukan menangis. Lalu Bustaman sembari agak berteriak, meminta Somad yang bicara. Satu orang saja.
“Kenapa kamu meneleponku? Kamu tahu aku punya masalah besar dengan Parjio. Bajingan itu!”
“Bus, ini soal nyawa…” suara Somad agak melemah. Seperti tahu. Seperti terpaksa. Seperti mengerti akan berakhir bagaimana.
“Kamu pikir, urusanku dengan Parjio bukan soal nyawa? Selain nyawa juga kehormatan keluargaku. Kehormatan kedua orang tuaku. Kehormatan anak-anak dan istriku!”
“Aku bisa mengerti, tapi aku dan Makrus tak punya pilihan lain. Lina hanya mengenal kami sebagai teman Parjio…” suara Somad makin mendekati putus asa, “tidak ada orang yang kami kenal yang punya uang 150 juta selain kamu. Kalau aku dan Makrus tak menghubungimu, peristiwa ini akan menghantui kami sampai mati…”
Bustaman terdiam. Dia melihat di balik pintu, istri dan kedua anaknya terlelap. Dia melihat ke arah jendela. Hari mulai terang.
“Oke, aku akan ke rumahsakit.” Bustaman menutup telepon genggamnya.
Lalu dia duduk di bangku meja makan. Menyalakan sebatang rokok sambil meminum sisa kopi semalam.
Tidak ada orang yang pernah nyaris menghancurkan hidupnya selain Parjio. Sampai sekarang, Bustaman tak pernah tahu apa kesalahannya hingga Parjio nekat memfitnahnya, dan selaim harga diri, dia juga kehilangan pekerjaan. Terpaksa harus menjual rumahnya, terpaksa tinggal dengan mertua, terpaksa harus memindahkan sekolah kedua anaknya ke sekolah yang jauh lebih murah. Kedua orangtuanya menanggung malu karena berita santer soal kasus dia di kantornya menyebar ke kampung. Bahkan bagaimana hingga kasus itu terdengar di kampungnya pun, Bustaman tahu kalau itu ulah Parjio.
Bustaman memang pernah tidak diam. Pernah meletup. Suatu hari, usai menjalankan salat Subuh, dengan berbekal pisau dapur, dia menyetater sepeda motornya. Dia hanya ingin melakukan satu hal saja: menusuk tubuh Parjio berkali-kali. Itu saja. Kemudian dia akan menyerahkan diri ke polisi.
Tepat di gang menuju rumah Parjio, dia berpapasan dengan Lina yang hendak keluar dari gang itu. Mungkin mau pergi ke pasar. Mendadak Lina berteriak kencang memanggil namanya. Lalu memutar sepeda motornya, mengejar Bustaman. Karena merasa tidak enak dengan orang-orang yang berlalu lalang di gang itu, Bustaman menghentikan laju sepeda motornya.
Usai menjagang sepeda motor, Lina berlari, menangis sambil memeluk kaki Bustaman. Perempuan itu seakan tahu kalau Bustaman akan membalas dendam.
Orang-orang dengan segera merubung mereka. Bustaman diam. Pelan dia menghidupkan sepeda motornya lagi, kemudian balik ke rumah. Sesampai di rumah, dia menangis sesenggukan sambil memeluk istrinya yang sedang menanak nasi di dapur.
Dan pagi tadi, dia ditelepon oleh Lina dan kedua sahabatnya, memberitahu bahwa Parjio kena korban tabrak lari ketika baru pulang nglembur dari mengerjakan proyek. Laki-laki bajingan itu masuk UGD. Tak ada uang. Tak ada BPJS. Dan seperti biasa, pihak rumah sakit minta jaminan uang 150 juta untuk menangani Parjio.
Bustaman memang telah keluar dari bebat persoalannya. Fitnah tidak membuatnya mati. Hanya membuatnya sempat miskin dan terhina selama 5 tahun. Kini, dia telah bangkit. Juga dalam soal ekonomi. Tapi dendamnya tidak hilang.
Di meja makan itu, dua hal bertarung keras di kepala Bustaman: menjadi mulia atau menjadi jahanam.
Istrinya bangun untuk menunaikan salat Subuh yang agak kesiangan. Demikian juga kedua anaknya. Lalu istrinya memasak. Kedua anaknya belajar sebelum bersiap pergi sekolah. Bustaman masih diam dan berpikir keras. Berkali-kali menghela nafas.
Dengan memejamkan mata, dia raih telepon genggamnya, mematikan benda itu. Bustaman segera mengajak sarapan bareng dengan kedua anak dan istrinya. Mereka berempat bercengkerama sebagaimana biasa.
Keesokan harinya, Bustaman sudah berada di sebuah warung soto. Di depannya tampak wajah Makrus dan Somad yang terlihat memendam marah dan kecewa. Mereka berdua masih memakai pakaian hitam dan kopiah, usai ikut prosesi pemakaman Parjio.
Bustaman memesan semangkuk soto sapi dan teh hangat. Dia lalu balik menatap tajam kedua sahabatnya. Tatapan bergantian yang berkilat-kilat.
Makrus menundukkan kepala. Somad juga. Sambil menyeka airmatanya, Somad mendongak dan berkata, “Kenapa kamu bisa sekejam itu?”
Bustaman menjawab ringkas, “Parjio telah memfitnahku, dan aku hanya tidak menepati janjiku. Pemfitnah tak pernah layak mendapatkan kehormatan menerima janji yang suci.”
Lalu dia menyendok pelan kuah soto di depannya.