Suatu malam, Bagor meminta izin kalau sebentar lagi mau meminjam kamar kos saya. Tentu saja saya langsung paham maksudnya apa. Segera saya saut kunci sepeda motor dan mengambil jaket.
“Lha kamu mau ke mana?”
“Lho ya pergi.”
“Lha kenapa kok pergi?”
“Lha mosok aku harus menjadi saksi dengan seluruh kegoblokanku melihat kamu kenthu?”
“Lho sing meh kenthu ki sapa, Cah Bajingan? Gak usah sok tahu. Ini temanku mau curhat. Laki-laki. Lebih baik kamu menjadi tuan rumah yang baik dengan menyediakan teh poci yang enak…”
Saya pun akhirnya kluntrung-kluntrung ke dapur kos. Memasak air. Menyiapkan teh poci. Semenjak saya kenal Bagor yang begitu menyukai teh, saya membeli secara khusus tempat teh, sebuah poci yang terbuat dari tanah liat. Dan poci tanah liat bikinan saya itu kondang di antara semua teman-teman saya karena menjelma menjadi poci berkerak teh yang sempurna. Saya ini sebetulnya agak gak paham juga, semua yang saya sentuh kok jadinya bagus, indah, dan enak…
Akhirnya kawan yang ditunggu itu datang. Saya tahu orang itu. Pernah beberapa kali bertemu. Tapi tidak kenal dekat. Akhirnya saya duduk di atas kursi, menghadap komputer, pura-pura mengerjakan tugas kuliah. Sementara Bagor dan temannya itu, sebut saja namanya Soni, duduk di lantai. Menghadap poci bikinan saya.
Kamar penuh dengan asap rokok karena pintu kamar saya tutup. Hanya jendela kamar yang saya buka sedikit. Supaya suara orang yang sedang curhat tidak keluar dari kamar.
Tentu saja saya mencuri-curi dengar. Saya jadi paham kisahnya. Si Soni ini ditinggal pergi oleh pacarnya, dan tampaknya dia stres berat.
“Kamu itu bikin aku malu, Son…” ujar Bagor, “gondrong, tatoan, ngakunya gak percaya Tuhan, ditinggal pacar kok nangis!”
Asu, batin saya. Bagor memang asu. Temannya mau curhat malah dimarahi.
“Coba jawab dengan jujur, kamu pacaran itu untuk apa sih?”
“Mmm.. ya supaya ada teman ngobrol…”
“Haes, bohong! Kalau cuma teman ngobrol, memangnya kurang apa aku dan sahabat-sahabatmu yang lain? Kamu gak bisa ngobrol sama kami? Kami kurang bisa jadi teman ngobrol bagi kamu? Pacarmu yang pergi meninggalkanmu itu memang lebih pinter dari kami? Kamu menghina kami ya?”
“Ya, gak begitu, Gor…”
“Ya begitu!”
Saya kembali hanya bisa mengumpat lagi dalam hati. Ooo memang Bagor ini Si Cocot Asu…
“Kamu ke mana-mana ngaku tidak punya Tuhan. Ateis. Tapi ditinggal cewek saja nangis. Kan aku sebagai temanmu maluuuuu! Maluuuuu! Kamu boleh gak percaya sama Tuhan, tapi masak gak percaya sama temanmu? Memalukan! Sekarang jawab dengan jujur, supaya cepat selesai masalahmu. Untuk apa sebetulnya kamu pacaran?”
Sepertinya Si Soni terdesak. Dia hanya bisa plegak-pleguk. Bagor langsung melakukan smes keras, “Supaya bisa kenthu, kan?”
“Mmm ya itu kan hanya efek sampingan saja…”
“Gak mungkin! Itu yang paling utama, kan? Ayo, ngaku!”
“Ya sudah, anggap saja begitu…” suara Sony terdengar lirih.
“Lha kalau kebutuhanmu cuma kenthu, kenapa harus dengan punya pacar? Ke Sarkem atau Sanggrahan kan selesai. Enak. Kenthu sama orang yang sudah pengalaman. Gak terancam dikhianati dan ditinggalkan seperti yang kamu rasakan sekarang. Gak khawatir menghamili. Kamu itu sudah dikasih jalan yang enak di hidup ini, nyari yang gak enak. Malah pacaran. Goblok!”
Asu. Batin saya.
“Sudah. Selesai ya. Aku gak mau besok pagi lihat muka kamu sedih. Gak mau dengar lagi, kamu menangis curhat patah hati di depan orang-orang. Memalukan!”
Lalu Bagor membuka dompetnya. Mengambil uang, diberikan ke Soni. “Ini uang untuk kenthu selama seminggu. Kalau habis, cari duit sendiri atau jual saja motor dari bapakmu itu.”
Soni lalu pamitan. Mukanya mulai terlihat cerah. Tampaknya nasihat Bagor bahwa pacaran adalah hal yang paling tidak berguna di hidup ini, sudah mulai merasuki pikiran Soni.
Begitu Soni pergi, Bagor lalu menuangkan lagi poci berisi teh ke gelasnya. Memberinya gula. Menyalakan rokok. Kacamatanya dilepas karena asap terlalu pekat. Perih di mata.
“Thut, Puthut…”
Saya menoleh ke arahnya.
“Aku ini sebetulnya sedang jatuh cinta…” dia berharap saya mendengar curhatnya. Saya berdiri dari kursi. Dia pikir, saya akan bergabung dengan dia, duduk di lantai. Tapi saya berdiri, mengambil dompet di rak buku. Lalu mengulungkan sejumlah uang, “Kowe ora usah ngomong cinta. Iki nggo neng Sarkem. Nek cen wani, kono kenthu nganti pothol kontholmu.”
“Ooo bajingan!”