Aku pulang tak lama setelah jam di dapur kawanku menunjuk pukul 7 malam. Setidaknya aku pulang dengan membawa satu janji dan kartu undangan.
Jam 12 malam nanti, di sebuah kompleks perumahan dosen UGM di daerah Bulaksumur, akan ada diskusi. Ah, kata diskusi tak terlalu tepat, mungkin ngobrol. Obrolan tentang seputar kematian. Tema yang tidak mengenakkan untuk diikuti. Tapi tak enak juga rasanya menampik tawaran kawanku itu. Toh aku punya waktu.
Rupanya, dia punya kelompok kecil yang melakukan obrolan tentang kematian, spiritualitas, mistisisme, dan sebangsanya. Tema-tema yang bukan saja tak menarik hatiku, tapi selalu gagal kupahami.
Masih terlalu lama menunggu pukul 12 malam. Mestinya aku pulang ke rumah dulu, menemani istriku makan malam, bermain dengan anakku. Tapi setir mobil malah mengarah ke XXI. Siapa tahu ada film bagus.
Tak ada film yang menarik. Hanya ada “Martian”, kalau tidak salah tentang orang yang bertahan hidup di Mars. Jauh amat. Tapi ada film yang agak menarik, judulnya “Sicario”, semacam upaya pembalasan dendam kepada bos kartel. Tampaknya penuh dar der dor. Banyak darah. Dan menegangkan.
Aku memilih menonton “Sicario”, pukul 9.40 malam. Masih tersisa hampir dua jam, yang kemudian aku gunakan untuk membuat satu tulisan dan satu laporan sembari menyeruput kopi.
Kurang sepuluh menit dari waktu yang tertera di karcis masuk, aku bangkit, kencing dulu, lalu masuk. Ritual menonton film di bioskop selalu sama dari dulu: diawali dengan kencing dan pasti diakhiri dengan kencing. Mungkin ac yang berlebihan membuatku mudah kebelet kencing.
Tidak terlalu banyak orang yang menonton. Selain bukan hari libur, kurasa juga memang sudah terlalu malam. Kalau film dimulai pukul 9.40, kira-kira bakal usai jam 11 malam lebih.
Aku duduk di deretan kursi favoritku: B-9. Itu posisi paling nyaman buatku. Hanya ada aku dan sepasang laki-laki dan perempuan di deretan kursi B itu. Pasangan itu terpaut dua kursi. Di belakangku, deretan A hanya ada 4 orang dengan posisi yang agak terpencar. Hanya di deretan depanku yang tampak penuh, deretan C. Persis di depanku, seorang laki-laki yang berjejeran dengan seorang perempuan. Mungkin suami-istri.
Benar, dari awal, “Sicario” langsung mengentak. Penuh ketegangan. Mayat-mayat busuk. Ruang bawah tanah yang tiba-tiba meledak. Tapi mendadak aku terganggu dengan suara pasangan di depanku yang ngobrol. Suara mereka cukup keras. Aku termasuk mudah terganggu dengan hal seperti ini. Ketika kemudian kuanggap tidak bisa ditoleransi lagi suara obrolan mereka, aku mengeluarkan desusan. Sssttt!
Mereka terdiam. Tapi tak lama ngobrol lagi. Aku berikan desusan lagi. Agak lebih keras. Mereka terdiam lagi. Tapi juga tak berumur lama, mereka ngobrol lagi. Aku hampir menjejak sandaran kursi tempat mereka duduk, tapi kuurungkan. Aku mendesus lagi. Kali ini agak lebih menyerupai bentakan. Sssttrrrttt!
Mereka diam. Cep kelakep. Sialnya, aku merasa tidak mudah membalikkan suasana hatiku untuk menikmati film itu lagi. Butuh waktu. Dan tepat ketika aku sudah mulai bisa lagi menikmati alur film itu, mendadak kebelet kencing. Babi.
Aku menahan rasa ingin kencing sebab jalannya cerita sedang sangat menarik. Akhirnya film berakhir dengan biasa. Tak begitu tegang.
Lampu menyala. Aku bangkit dari kursi, tapi agak kaget ketika laki-laki di depanku juga berdiri lalu menengok ke belakang, ke arahku. Mukanya merah. “Kamu tadi yang membentakku ya?”
Aku masih syok dengan adegan di depanku. Perempuan yang mungkin pasangannya juga menengok ke belakang. Mukanya memperlihatkan rasa sebal kepadaku.
“Kamu punya telinga?! Dengar pertanyaanku?” Omongan laki-laki itu agak celat. Mukanya putih dengan kacamata tebal. Rambutnya njegrak, memakai kaos polo warna kuning.
Aku bingung, antara kaget dan aneh. Ya, aku yang menyuruh kalian diam.
Si perempuan, matanya mendelik ke arahku. Dia juga berkacamata. Rambutnya sebahu. Dua orang itu sama-sama berbadan besar, untuk tidak menyebut agak tambun.
“Kamu tahu aku?”
Mendengar pertanyaan itu, setelah rasa kaget teratasi, mendadak aku diserang rasa geli. Orang itu menggertakku. Mungkin rasa geli itu tak bisa benar-benar kutahan sehingga kedua orang itu bisa melihat di roman mukaku.
“Eh malah tersenyum menghina!” Sambil bicara begitu, tangan kanan laki-laki itu seperi akan meninjuku. Tapi segera dipegangi perempuan di sampingnya.
“Jangan di sini!”
Beberapa orang yang sudah mulai berjalan menuruni tangga, sempat menoleh ke arah kami. Dua pasang orang yang duduk di deretanku, juga melihat adegan itu dengan rasa bingung. Antara mau keluar tapi juga ingin menonton.
Mereka berdua keluar dari deret kursinya. Aku juga.
“Jangan di sini. Kita selesaikan di luar.” ujar laki-laki itu sambil melotot ke arahku, lalu berjalan menuruni tangga.
Aku mengikuti mereka berdua dari belakang, sambil terus merasa konyol dan geli. Merasa aneh ada orang menantangku berkelahi hanya karena kusuruh diam. Lagian kalau misal orangnya terlihat kiyeng dan liat, agak masuk akal. Lha laki-laki itu aku tonyo sekali saja pasti gak akan bangun lagi.
Tapi sudahlah. Mungkin malam ini aku harus memukul orang. Aku mengikuti orang itu dari belakang sampai di tempat parkir di depan gedung. Mungkin ada beberapa orang yang melihat adegan kami bertiga, lalu melapor ke satpam. Sebab di belakangku menyusul dua orang satpam.
Melihat kedua orang satpam itu mengikuti kami, laki-laki itu ganti membentak satpam. “Kalian gak usah ikut-ikut urusan ini!”
Tepat di saat itu pula, ada dua orang gemuk yang mendekat ke arah kami. Salah satunya masih membawa kardus popcorn.
O, dia bawa teman. Sepertinya kedua temannya itu juga ikut menonton film yang sama, tapi tempat duduknya terpisah.
Kedua satpam itu sepertinya agak tersinggung dibentak seperti itu. Dan sepertinya mereka bisa saja bertindak tegas melerai kami. Tapi mungkin karena sedang capek dan agak tersinggung, mereka berdua diam.
Laki-laki berkaos polo kuning itu baru mengulungkan tas cangklong kulitnya ke perempuan pasangannya, lalu menuju ke arahku, aku sudah tidak sabar. Tangan kananku meninju keras mukanya, sampai ada suara “prak”. Laki-laki itu terjungkal. Kacamatanya copot dan hancur. Perempuan pasangannya hanya melongo. Dan aku benar-benar heran kenapa perempuan itu tidak menjerit. Sementara dua laki-laki teman mereka berdua juga tampaknya syok karena tidak siap tiba-tiba aku memukul lebih dahulu. Sementara kedua satpam itu hampir tertawa. Beberapa orang di dalam mobil yang hendak keluar dari tempat parkir itu, serempak menghentikan pergerakan mobil mereka.
Susah payah laki-laki itu bangkit. Aku hampir memukulnya lagi, tapi tak tega ketika dia kebingungan memunguti kacamatanya yang terjatuh dan separuh ambyar kacanya.
Aku memandang dua laki-lali teman mereka. Tapi mereka diam. Menolong kawannya pun tidak. Hanya ndomblong.
Kedua satpam itu akhirnya mendekatiku, dan salah satunya berkata, “Sudah, Mas. Sudah keok gitu orangnya.”
Aku sepakat. Lalu membalikkan badan mau masuk ke gedung bioskop lagi sebab rasa kebelet kencing muncul lagi. Tapi aku berjanji dalam hati, kalau selama aku berjalan orang itu mengejarku atau berteriak memakiku, aku akan menghajarnya sampai babak belur.
Tapi sampai aku masuk kembali ke gedung lewat samping, tak ada teriakan apapun. Aku juga waspada ketika kencing. Siapa tahu mereka juga menyusulku.
Sampai kemudian aku menyetir mobil, aku tetap waspada. Tapi aku juga tersenyum geli. Ini malam apa-apaan, memukul orang untuk urusan yang benar-benar sepele dan nyaris tak masuk akal. Dengan rentetan adegan yang juga menggelikan. Dia yang mengajak berkelahi, dipukul sekali jatuh, teman-temannya yang berbadan besar hanya ndomblong tak berbuat apa-apa. Teman-teman macam apa itu…
Aku masuk ke kompleks perumahan dosen UGM di daerah Bulaksumur yang sepi. Tak terlalu sulit mencari rumah itu karena mobil kawanku diparkir di depan rumah itu.
Ketika aku hampir mengetuk pintu, pintu terbuka dari dalam. Seorang laki-laki bersinglet kutung, dengan ramah menyambutku, dan mengajakku masuk ke ruang dalam.
Di teras belakang rumah itu, telah duduk dengan santai dan tak beraturan orang-orang yang sepantaran dengan kawanku. Mereka tampak asyik ngobrol. Tapi terhenti sebentar. Lalu aku menyalami mereka satu persatu. Semua berjumlah 7 orang.
Salah satu di antara mereka, mungkin tuan rumahnya, memberiku segelas kopi sambil berkata, “Sudah saya buatkan dari tadi, Mas. Sudah agak dingin. Tak apa, ya?”
O, tak mengapa, Pak…
“Sambil menenangkan pikiran. Kadang biasa begitu, ada kejadian-kejadian menggelikan di seputar kita, tanpa kita tahu kenapa itu terjadi.”
Aku kaget. Penasaran. Kejadian apa, Pak?
“Lho, habis berantem sama orang, kan?”
Kali ini, aku benar-benar kaget. Tanpa sedikit pun tercampur rasa geli.