Lima hari sebelum Kali merayakan ulangtahunnya yang keempat, dia terserang demam.
Selama demam berlangsung, dia dibawah pengendalian penuh ibunya. Bocah itu tidak tampak kesakitan. Hanya berkurang cerianya, dan jam tidurnya makin lambat. Dua hari sebelum hari H, dia sudah pulih. Tapi ibunya tetap membawa ke dokter langganan kami. Dan benar. Dokter langganan kami bilang bahwa fase Kali sakit sudah lewat. Tinggal proses penyembuhan belaka.
Saya tahu, istri saya bekerja dengan tingkat kecermatan yang tinggi, terutama jika menangani Kali yang sedang sakit. Tapi sebetulnya ada yang dia lewatkan.
Pukul sebelas malam, di hari kedua ketika Kali sakit, ketika ibunya sudah tertidur karena kecapekan, sepasang mata Kali masih kelop-kelop menatap langit-langit kamar. Saya merasa, begitulah cara dia mengusir rasa sakit. Saya yang berbaring di sampingnya langsung memeluk dan berbisik, “Kali, kita punya satu permainan malam ini…”
Dia menoleh ke arah saya. Dalam gelap kami bersitatap.
“Kali sedang sakit. Sebentar lagi, semua keluarga akan berkumpul: Ajeng Nuk, Eyang Dad, Ati Endah, Akung Amin, dan banyak lagi yang lain.”
Kali diam. Dia mendengarkan saya.
“Kali harus sembuh. Bapak tidak mau keluarga kita sedih semua karena anak-pintar-yang-disayangi-mereka, sakit.
“Mulai malam ini, Kali akan menukar sesuatu dengan Bapak.”
Bocah itu tetap menolehkan wajahnya ke arah saya.
“Mulai besok, penyakit Kali pindah ke Bapak… Kali mengerti?”
Kali mengangguk. “Kali besok sembuh ya, Pak?”
Saya mengangguk.
“Sakit Kali pindah ke Bapak ya, Pak?”
Saya mengangguk.
Tepat keesokan harinya, demam Kali turun, dan di saat itu pula, benih demam berkecambah di tenggorokan saya.
Istri saya punya cara yang ampuh untuk memindai penyakit yang saya hadapi. Dia cukup memegang punggung, atau pundak, atau jari-jemari saya. Sakit saya langsung bisa dilihat dari cara dia bersendawa. Makin dalam, cepat, dan keras, maka sakit saya makin parah.
Di pagi itu, dia agak heran. Saya masih terlihat bugar, tapi ketika dia memegang pundak saya, dia merasakan hal yang aneh. Sendawanya keras, cepat, dan dalam.
Tepat di hari ulangtahun Kali, saya benar-benar jatuh sakit. Hampir semua kegiatan ulangtahun Kali tidak saya ikuti. Ibunya akhirnya memindah acara seremoni peniupan lilin yang mestinya diadakan di sebuah penginapan, menjadi cukup diselenggarakan di rumah. Hanya tiup lilin dan berdoa. Rombongan kemudian pergi lagi meneruskan acara. Begitu seterusnya hingga tiga hari. Dan saya sendirian di rumah. Sekali dalam sehari, Kali diajak ibunya menengok saya. Setiap Kali datang, Kali hanya mengusap punggung dan dahi saya, persis begitu yang terjadi ketika “permainan baru” itu kami lakukan.
Pagi tadi, menjelang pukul enam, demam saya meninggi. Saya menelepon Bapak. Dia meluncur dari penginapan. Begitu memasuki kamar yang remang, saya tahu dia menitikkan airmata. Dia lalu memegang beberapa ruas jari kaki saya. Setiap ruas dipegangnya sebentar. Saya tahu persis apa yang dilakukannya. Setiap memegang satu ruas dia membacakan Al Ikhlas.
Ketika 30 kali pegangannya usai, demam saya menurun. Dia mengambil segelas air putih untuk saya. Dibacakannya doa.
Dalam gelap, sepasang mata kami bersitatap. Dia tahu apa yang terjadi. Lebih dari tigapuluh lima tahun yang lalu, dia melakukan hal yang serupa.
Hanya berbeda dua hal saja. Saat itu bukan soal ulangtahun, dan saat itu kami bercakap dalam bahasa ibu kami: bahasa Jawa.