Suatu pagi, seorang pengusaha berjalan kaki menyegarkan pikiran. Tiba-tiba dia melihat seekor burung yang patah sayapnya. Dia lalu merawat burung itu. Mengobati lukanya. Lalu memberinya makan dengan penuh kesabaran.
Mendadak terlintas sesuatu di kepalanya. Pengusaha itu merenung. Dia kelihatan resah sekali. Akhirnya dia pun masuk ke dalam mobilnya, berangkat menemui gurunya.
Begitu menghadap sang guru, pengusaha itu mengeluarkan keresahannya. “Guru, pagi ini saya mendapatkan pengalaman penting. Mulai besok, saya akan berhenti menjadi pengusaha.”
Sang Guru tersenyum. Teduh. Dia menuangkan teh ke dalam cangkir, dan mempersilakan muridnya yang pengusaha itu untuk minum
Selesai meneguk teh hangat, pikiran pengusaha itu tampak makin padang. Lalu dia melanjutkan omongannya. “Pagi tadi, saya melihat seekor burung terkapar. Tidak berdaya. Salah satu sayapnya patah. Tapi Tuhan mempertemukan saya dengan burung yang terluka itu. Saya mengobatinya. Memberinya makan….
“Dari kejadian itu, saya berpikir, kenapa saya setiap hari harus bekerja. Kenapa saya harus banting tulang dan menguras pikiran? Bukankah kehidupan ini punya jatah masing-masing? Burung yang terluka dan tak berdaya pun dipertemukan Tuhan dengan saya, sehingga saya menolongnya. Mulai besok, saya memantapkan hati untuk berhenti bekerja. Berhenti menjadi pengusaha. Saya siap menerima jatah kehidupan saya.”
Sang Guru masih tersenyum. Suasana lengang sejenak. “Nak…” terdengar suara laki-laki bermuka teduh itu, “kamu selama ini, dengan segala kekayaan dan kelebihanmu, membantu banyak orang. Membiayai berbagai lembaga pendidikan. Menyumbang anak yatim. Menyekolahkan banyak pemuda. Memakmurkan tempat ibadah… Sungguh itu sesuatu yang mulia…
“Bagaimana bisa, kamu punya pikiran untuk merendahkan derajatmu sendiri? Dari orang yang diberikan kemuliaan oleh Tuhan dengan membantu banyak orang, menjadi orang yang justru kelak akan dibantu orang lain. Kaidah umumnya kan jelas, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Seseorang yang membantu orang lain, lebih mulia dibanding yang dibantu. Bagaimana bisa kamu punya pikiran menampik tawaran Tuhan menjadi orang mulia?”
Pengusaha itu terkejut. Dia tercenung. Tak lama kemudian, buliran airmata mengalir dari kedua matanya.
——-
Selamat merayakan kemerdekaan Republik Indonesia.