Hampir empat bulan saya tidak berpergian jauh. Musim penghujan ditambah tragedi kecelakaan pesawat terbang membuat saya memutuskan ingin banyak ngendon di Yogya sembari mengurus lemak tubuh dan asam urat. Program tahun ini hanya saya buka dengan keinginan membaca banyak buku dan berolahraga.
Alhamdulillah semua kesampaian. Mungkin ini tahun terbaik saya setelah 5 tahun lebih saya tidak membaca buku dengan tertib. Dulu saya biasa menghabiskan 5 sd 7 buku dalam satu bulan. Dan dalam 5 tahun terakhir mungkin tidak lebih dari 5 buku yang saya tuntaskan dalam satu tahun. Kesibukan saya amat parah.
Setidaknya di bulan Januari dan Februari saya perlahan mulai kembali bisa belajar membaca buku dengan baik. Setidaknya 3 buku di setiap bulan sudah saya baca. Lumayan. Permulaan yang baik.
Jika semua berjalan seperti ini, paling lambat tahun depan saya sudah bisa menggarap buku lagi. Menulis sebuah buku yang karena saya ingin melakukannya. Bukan karena orang lain. Bukan dalam rangka mencari uang. Bukan atas nama profesionalisme. Bukan karena dituntut sipapun. Untuk kepuasan saya sendiri. Sukur kalau bisa pertengahan tahun ini. Kita lihat saja.
Saya belum pernah merasa senyaman ini tinggal terlalu lama. Kebiasan berpergian membuat saya tidak jenak jika dalam satu bulan saja tidak pergi. Rasanya saya belum “bekerja”. Seperti makan siang tanpa kerupuk.
Besok saya terpaksa pergi. Saya senang sekali memiliki rasa terpaksa. Berarti mestinya saya senang sekali berada di Yogya. Dengan lapang pula saya bilang ke yang biasanya mengurus tiket saya bahwa saya ingin pergi naik kereta api. Selain sedang takut-takutnya naik pesawat terbang, juga mungkin ini baik untuk menyegarkan pikiran saya. Selama 5 tahun ini pula, hanya sekali saya naik kereta api.
Apa yang tidak saya sukai di ketinggian adalah rasa semacam munafik. Saya berdoa terus baik ketika ada guncangan maupun tidak. Ketika pesawat mendarat, saya seperti lepas dari cengkeraman tangan Tuhan. Ketika ada guncangan, saya lebih dulu menyebut nama anak saya dibanding nama Tuhan. Orang seperti saya mungkin takut mati. Tapi lebih takut lagi jika saya mati, bagaimana perasaan orangtua saya, perasaan anak-istri saya, siapa yang akan merawat dan menghidupi mereka? Saya tidak percaya sepenuhnya bahwa Tuhan akan merawat mereka. Padahal mestinya saya tidak boleh berpikir begitu. Setidaknya saya jujur terhadap apa yang saya pikirkan. Di ketinggian, kebohongan tidak begitu berlaku.
Besok pagi, saya akan memulai satu ritual yang menghargai kelambatan. Bonus-bonus penerbangan saya buang begitu saja. Saya biarkan kadaluwarsa. Saya kembali akan melihat lanskap lewat kaca jendela. Telinga saya akan dimanjakan dengan derit khas. Aroma besi. Kursi yang agak lembab. Perjuangan untuk kencing. Kopi yang tidak enak. Susah menyendok makanan. Kesabaran duduk berjam-jam.
Tahun ini saya ingin lebih banyak punya kesempatan untuk bercakap-cakap dengan diri saya sendiri. Memanjakan diri. Melakukan apa saja yang saya sukai. Termasuk memandang matahari terbenam dari dalam kereta api.
Siapa tahu saya punya semangat menulis cerita pendek lagi. Atau bahkan novel. Tapi jika tidak, setidaknya saya akan dimanjakan dengan cara membaca buku.
Saya tidak sabar menunggu esok hari, dan berharap seperti bertahun-tahun lalu jika mau naik kereta api: teman di samping saya tidak cerewet dan memakai parfum secukupnya saja.