Subuh tadi, saya siap-siap berangkat. Belum tidur sama sekali. Saya mau melihat bagaimana serangan fajar bekerja (istilah ini agak tidak tepat karena kecenderungannya amplop dibagikan persis sebelum pencoblosan atau bahkan setelah pencoblosan). Titik lokasi tentu saja daerah yang paling saya kenal, kampung tempat saya ngontrak rumah selama 5 tahunan. Plus saya mau mendokumentasikan generasi Z dalam mengikuti perhelatan elektoral ini.
Begitu membuka pintu, Nmax tercinta terhalangi Yaris-nya Diajeng. Sambil menunggu mobil diundurkan, saya membuka lagi dummy buku yang semalam diberikan kepada pihak penerbit pas rapat peluncuran buku. O ya, peluncuran buku termutakhir saya nanti akan digelat di LIP. Ada pameran ilustrasi buku lebih dari 70 buah, ada pembacaan karya, musik, dan tentu saja ngobrol santai.
Begitu Diajeng masuk rumah, saya ngecek dulu batrei kamera. Waduh, tinggal dua setrip. Terpaksa saya cas dulu. Sambil menunggu cas-casan, saya membuka-buka lagi dummy buku.
Dan…
“Pak, bangun!” Saya bukannya bangun malah merangkul bocah itu.
“Pak, bangun! Sudah azan Dhuhur!” Saya langsung njenggirat. Bajigur! Keturon…
Saya bergegas ke kamar mandi. Boker sambil buka email. Jam di hape menunjuk angka 12.29. Habis itu mau mandi, salat, makan, lalu ngeslah Nmax ke TPS.
Lha tapi serangannya pasti sudah selesai… Gak apa-apa, ada penghitungan suara.
Tiba-tiba Diajeng bertanya, “Kita nanti nyoblos di mana?”
“Kita?”
Diajeng baru sadar. Dia tahu. Seumur hidup saya belum pernah ikut pemilu.
“Aku…”
“Ya di TPS lah…”
“Iya, TPS-nya di mana?”
“Lha ya mana tahu? Memangnya aku petugas pelaksana pemilu?”
Muka Diajeng terlihat jengkel.
“Aku antar ke TPS. Nanti kita tanya Pak Satpam.” Para satpam di perumahan saya adalah orang-orang penting di kampung, mereka selalu mempermudah urusan kami dalam berbagai hal menyangkut administrasi kampung.
“Udah mau jam satu nih…”
“Memang kenapa?”
“Ya kan tutup TPS-nya kalau sudah jam satu…”
“O ya?” Saya lalu siap-siap berangkat.
***
Di grup perumahan, agak geger. Banyak orang tidak bisa mencoblos. Itu keterangan dari Diajeng. “Udah berangkat saja…” ucap saya sambil menghidupkan sepeda motor.
Kali ikut sambil mengenakan peci. “Kamu kenapa mengenakan peci, Nak?”
“Mau nyoblos Jokowi.”
“Memangnya Prabowo gak pake peci?”
“Ooo pake ya? Terus Kali nyoblos siapa dong?”
Saya tidak menjawab. Diajeng sudah nyemplok di sadel. Nmax meluncur. Kami melewati keluarga Mas Emil yang lagi santai di depan rumah, saya menghentikan sejenak. “Sudah milih, Mas?” tanya saya kepada bos pemilik kaos terkenal merek TNGR itu.
“Udah, Mas. Nih…” ucapnya sambil menunjukkan kelingkingnya. “Mas Puthut mau nyoblos?”
“Ini nganter Diajeng…”
“Sudah dapat undangan belum?”
“Dapat sih, Mas. Undangan nikah sodara…” jawab saya guyon.
“Soalnya habis, Mas. Kotak suara.”
“Iya, itu ibu-ibu perumahan rame. Pada nggak bisa nyoblos.” jawab Diajeng.
Saya pamitan. Langsung menuju pos satpam. Ada Pak Kris, pimpinan Satpam. “Badhe nyoblos, Pak?”
“Nggih, nganter Bu Ajeng.”
“Habis, Pak. Kertas suaranipun telas.”
“Gak apa-apa, Pak. Yang penting ke sana dulu.”
Pak Kris menunjukkan arah TPS. Saya ngegas sepeda motor ke arah sana.
TPS 37. Habis kertas suaranya. Saya menuju TPS 36. Kebetulan ada Mas Kikik, dia satpam juga di perumahan. Termasuk tokoh muda kampung yang disegani. “Mas, masih bisa nyoblos?”
“Bisa, Pak.”
Diajeng tampak lega. Kali ikut turun. Terakhir dia ikut masuk ke bilik suara ketika umurnya hampir 2 tahun. Masih belum dong.
Tak lama kemudian Diajeng balik. Mukanya suntrut. Mas Kikik memita maaf. “Maaf, Pak. Kertas suaranya habis…”
“Gak apa-apa, Mas. O ya, saya punya kantor baru di daerah sini, Mas. Tolong dibantu keamanannya, nggih…”
“Oooh, di mana, Pak?”
“Dekat kok. Ini saya mau ke sana. Itu 50 meter dari sini.” Kami bertiga naik motor pelan, Mas Kikik jalan kaki.
“Ooooh ini, Pak. Siap, Pak. Nanti saya jaga keamanannya. Ada yang tidur di sini?”
“Ada, Mas…”
“Siap, Pak.”
Kami masuk kantor baru. Kantor Ketiga. Gardamaya Creative Lab.
Di dalam ada Nody yang sedang membuat kopi. Ada Rifqi yang sedang membereskan kantor yang sedianya mau diluncurkan hari ini, tapi ditunda seminggu karena belum usai ditata.
“Mas, kata ibu-ibu perumahan, bisa nyoblos di Magelang.” mendadak Diajeng berkata sambil mukanya masih suntrut.
“Ke Magelang? Lha ini perhitungan suaranya sudah terdengar.”
Diajeng makin suntrut.
Kali berlari ke arah TPS karena perhitungan suara mulai terdengar. Saya menyimak, suara 01 dan 02 berkejaran dihitung lewat pengeras suara.
Satu suara Jokowi hangus.