Tentu saja saya lupa tanggal dan harinya, tapi saya tidak bisa melupakan hari itu. Salah satu hari yang paling menentukan bagi kehidupan saya selanjutnya.
Saya menunggu di sebuah ruang tamu yang penuh dengan foto-foto lawas, guci-guci, dan benda-benda kuno lain. Setiap suara yang terdengar dari dalam rumah, membuat jantung saya berdegub keras. Hari itu, saya sowan ke seorang ibu sepuh. Saya memanggilnya: Ibu Ageng. Nenek dari perempuan yang sangat saya cintai. Di tangan perempuan itulah, nasib hubungan kami berdua diketok. Jika disetujui, saya bisa melanjutkan prosesi berikutnya: perkenalan keluarga, lamaran, lalu serentet prosesi pernikahan yang panjang.
Langkah-langkah kaki terdengar. Kedua orang tua dari perempuan yang saya cintai keluar. Saya hanya berani memberikan senyum sebentar. Hati saya telanjur kacau. Rasanya, saya tak kuat melanjutkan babak selanjutnya. Perempuan yang saya cintai menyusul. Saya tak berani memandang wajahnya lama-lama. Mungkin muka saya pucat kali itu.
Dengan suara yang pelan namun terasa berwibawa, Sang Ibu berucap. Ringkas. Sang Nenek yang merupakan jangkar keluarga besar itu menyetujui saya kelak menikahi cucunya. Airmata saya hampir keluar. Kalau tidak sungkan, saya pastilah berteriak keras dan memeluk perempuan yang saya cintai. Kami memasuki tahap baru, babak menuju pernikahan yang memakan waktu sekira 6 bulan sendiri. Sangat lama untuk ukuran saya yang biasa bekerja efektif dan simpel.
Tapi lagi-lagi saya beruntung karena hampir semua hal ditangani oleh calon istri saya. Dari situ saya makin sadar, di balik sosoknya yang sabar dan lembut, perempuan itu sangat tangguh dan kuat. Keluarga besarnya seolah sudah “mengadernya” untuk runtut dan tak abai pada detil.
Sampai sekarang, rasanya semua masih seperti mimpi bisa menikahinya. Saya “dijodohkan” oleh salah seorang sahabat saya. Dan saya baru tahu kalau ternyata perempuan yang dijodohkan itu adalah sepupu sahabat saya tersebut ketika kami berdua sudah jadian. Di situlah saya sadar bahwa saya laki-laki yang cukup bisa diandalkan. Kalau tidak, tak mungkin ada orang yang mau menjodohkan saya dengan saudaranya sendiri.
Tapi kisah selanjutnya tidak mudah. Panjang. Kami berdua pacaran sembunyi-sembunyi selama kurang-lebih 5 tahun. Saya tinggal di Yogya, pacar saya tinggal di Jakarta. Tahun keenam baru saya berkenalan secara bertahap dengan kakak laki-lakinya, ayahnya, bundanya, baru kemudian neneknya alias Ibu Ageng. Kelak di kemudian hari, bertahun lewat, Ibu Ageng, meninggal dunia di pelukan kami berdua. Di atas pangkuan kami.
Hari ini perempuan yang saya cintai ini berulangtahun. Semoga dia makin baik, sabar, bijak, bahagia, dan makin mulia. Semalam ketika membangunkannya untuk mengucapkan selamat ulang tahun, saya bertanya, dia mau hadiah apa. Dia menggelengkan kepala. Semua sudah cukup, katanya. Saya sungguh terharu.
Saya menghadiahinya beberapa donat karena semalam terlalu malam saya keluar mencari kue ulang tahun. Toko-toko sudah tutup. Hanya tersisa Dunkin Donuts yang buka. Kali yang ketika bangun tadi pagi tahu kalau ibunya berulang tahun, segera mengambil salah satu mobil-mobilannya yang paling disayangi, lalu diberikan kepada ibunya, sebagai hadiah ulang tahun.
Semalam kami sudah berdoa berdua. Pagi tadi, kami berdoa bertiga. Dan saya ingin menghabiskan sejenak waktu di pagi ini untuk mengenang, betapa tidak mudah bagi saya untuk mendapatkannya.
Rasanya masih selalu seperti mimpi. Mimpi yang indah sekali.