Ibu kos Kardono mungkin satu-satunya perempuan yang pernah mengajak Unggun ngobrol dengan serius. Siang itu, Unggun lebih dulu pulang ke kos, kos Kardono tentu saja.
“Nak Unggun, Ibu mau ngobrol sebentar…” ibu kos Kardono dengan lembut menyapa begitu Unggun masuk ke dalam rumah kos.
Mereka berdua duduk berhadapan.
“Nak Unggun, Ibu mau tanya. Maaf kalau agak lancang…”
“O iya, Bu. Gak apa-apa. Ibu sudah saya anggap sebagai orangtua sendiri.”
“Nak Unggun ini sebetulnya punya kos atau tidak?”
Unggun tercekat. Pertanyaan pertama perempuan di depannya sudah penuh teror.
“Punya, Bu…”
“Kalau punya, kenapa kok Nak Unggun seperti kos di sini ya?”
“Nah, itulah, Bu… Saya merasa rumah ini itu adem, penuh kedamaian, saya merasa seperti di rumah sendiri.”
“Kalau Nak Unggun memang ingin kos di sini, nanti kalau ada kamar kosong, Ibu kabari.”
Unggun terdiam sebentar, kemudian menjawab, “Ooo gak perlu repot-repot, Bu. Saya satu kamar dengan Dono saja. Soalnya, Dono itu punya penyakit agak misterius, Bu. Setiap malam, dia kejang-kejang. Kalau tidak ada orang di sampingnya, bisa berujung masuk rumahsakit…”
“Ibu tidak tahu soal itu. Tapi intinya begini. Kalau Nak Unggun memang menginap terus di kamar Nak Dono, berarti sewa kamar itu untuk dua orang.” jawab Ibu kos Dono dengan datar.
“Nah! Itu lebih baik, Bu. Sudah lama saya punya gagasan seperti itu. Biar tidak saling merugikan. Hal itu pernah saya sampaikan ke Dono, tapi sampai sekarang saya tidak tahu kelanjutannya. Itu ide yang baik sekali, dan saya setuju.”
Dialog selesai.
Beberapa minggu kemudian, Kardono menemui Unggun di kantin kampus. “Nggun, kosku kok tiba-tiba mundhak dobel. Aku takon ibu kos, jare dheke wis omong-omongan ro kowe?”
“Betul, Don.” jawab Unggun sambil menikmati segelas es teh sambil merokok.
“Oke. Terus piye iki, berarti kene paronan ya?”
“Paronan piye, Don?”
“Ya koen mbayar separo, aku mbayar separo.”
“Lho koen iku gendeng tah piye, Don? Aku iki wis nduwe kos. Aku ya mbayar. Lha kok aku mbok kon mbayari kosmu juga, logikamu yok apa?”
“Lha koen ya gendeng pisan. Kosku gak mundhak, gara-gara koen, saiki mundhak. Terus aku kudu piye?”
“Ya ora kudu piye-piye.”
“Maksudmu yok apa seh, Nggun?”
“Sing kos kono sapa?”
“Aku.”
“Sing ngongkon mundhak dobel sapa?”
“Ibu kosku.”
“Sing dikon mbayar sapa?”
“Aku.”
“Kan wis jelas. Koen lulus mata kuliah logika gak seh, Don? Dua aktor itu adalah kamu dan ibu kosmu. Lha kok mara-mara aku sing mbok kon mbayar?”
Kardono diam. “Ancene angel ngajak mikir arek gendeng koyok koen iku, Nggun… Ngono kok ketampa UGM.”
“Lho rak malah nggawa-nggawa UGM. Sedhela maneh mesthi nggawa-nggawa Gusti Allah…”
“Wis ngene wae. Koen ojok teka maneh neng kosku, Nggun!”
“Lho, koen kok malah memutus tali silaturahmi ngene, Don?”
“Tali silaturahmi raimu iku!” Dono buru-buru pergi karena mengejar kuliah yang hampir dimulai.