Saya membutuhkan sepeda motor. Sebagaimana biasa, setiap saya punya sepeda motor untuk keperluan praktis sehari-hari, dan tiba-tiba teman-teman di sekitar lebih membutuhkan, dengan penuh pengertian saya ‘pinjamkan’. Kata pinjamkan memang tidak begitu tepat karena ya kadang juga saya berikan.
Tapi saya tetap butuh sepeda motor. Sekali lagi semata kepraktisan belaka. Kalau misal saya harus bertemu teman di kedai kopi dekat rumah, atau membeli rokok di toko, atau salat Jumat di masjid, rasanya terlalu berlebihan jika harus naik mobil. Kadang memang saya naik sepeda. Tapi sepeda tak terlalu menyelesaikan urusan dengan cepat. Misal saya habis capek menulis lalu ada janjian ngopi sama teman, tidak nyaman bersepeda. Atau bangun kesiangan, lalu harus salat Jumat, tentu bisa makin terlambat.
Maka saya berniat membeli sebuah sepeda motor lagi. Membeli barang adalah aktivitas yang tidak terlalu menyenangkan bagi saya, apalagi jika itu menyangkut kendaraan, kamera, hape, dan sejenisnya. Saya tak terbiasa membeli dengan cara bertele-tele. Bagi saya membeli paling jelas itu ya membeli rokok, alat cukur kumis, tisu, telor, dan semacam itu. Ambil. Bayar. Selesai. Saya bahkan jarang lihat tabel harganya. Apalagi jika harus membandingkan antara toko satu dengan toko lain. Itu menguras pikiran saya, dan saya kira tidak berguna. Lebih baik pikiran saya dipakai untuk mikir yang lain. Sampai sekarang saya bahkan tidak tahu berapa harga sebungkus rokok yang sering saya beli.
Siksaan itu mulai datang ketika saya harus masuk salah satu dealer sepeda motor. Seorang pramuniaga menyambut saya. Ini juga proses membingungkan. Saya tidak suka diceramahi dan digiring untul membeli salah satu model sepeda motor. Tapi saya juga tak begitu tahu harus membeli yang mana. Walhasil ya saya hanya membaca brosur yang disodorkan sambil bertanya: ini harganya berapa, itu berapa, dll.
Tapi yang mengagetkan saya, begitu mbak pramuniaga itu tahu kalau saya mau membeli dengan tunai (bukan kredit), dia terlihat tidak semangat. Saya makin malas. Lalu saya pergi begitu saja.
Eee, ndilalah begitu sampai rumah, Kali (anak saya yang berusia 6 tahun) minta sesekali diantar ke sekolah dengan naik sepeda motor. Kalau anak itu sudah yang meminta, saya bisa apa. Keesokan harinya, terpaksa saya masuk dealer sepeda motor yang lain. Kali ini agak lancar. Saya akhirnya bisa memutuskan mau membeli yang mana.
“Bapak mau kredit berapa tahun?”
“Saya mau membeli tunai, Mbak…”
Perempuan itu diam. Lalu dia bilang, “Pak, kalau tunai, tidak bisa warna yang itu.” begitu ucapnya. Dingin.
“O ya sudah.” Saya meremas brosur. Lalu saya keluar, dan saya buang brosur itu di tempat sampah.
Saya bukan aktivis antiriba sebagaimana yang sekarang ini marak. Saya tidak terlalu peduli dengan hal begituan. Saya membeli mobil juga dengan kredit. Kenapa? Karena kalau saya membeli tunai, saya tak mampu. Saya membeli rumah juga dengan kredit. Kenapa? Soalnya saya tidak kuat membeli tunai.
Tapi begitu rumah yang saya beli secara kredit mau saya lunasi, dan saya diingatkan bahwa saya kena penalti, saya jawab: “Jangankan penalti. Kamu kasih kartu merah saja saya gak peduli.” Untung petugasnya tertawa.
Saya konsumen. Saya berdaulat. Saya yang berhak memutuskan apakah saya harus kredit ataukah membayar tunai. Saya tidak suka diatur-atur apalagi menyangkut sesuatu yang saya miliki dan perjuangkan sendiri. Uang, misalnya. Makanya saya paling gak suka ada orang nyuruh-nyuruh berhenti merokok. Ya kalau rokok mau dilarang, bubarkan saja pabriknya. Semasa masih legal, dan saya punya uang, siapapun tidak bisa melarang. Ngasih kerjaan enggak, ngasih duit enggak, saudara bukan, sahabat bukan, ngelarang-ngelarang. Tapuki cangkemmu.
Balik dari dealer, saya telpon salah satu kawan yang terbiasa jual beli sepeda motor. Saya mengundangnya minum kopi. Tapi sebetulnya saya mau curhat: apa benar iklim jual beli sepeda motor sebusuk itu?
Dia mengiyakan. Busuk, katanya. Semua pembeli digiring untuk membeli dengan kredit. Kalau tunai, dipersulit. Wah, pikiran saya makin kemeropok. Kemebul. Umub. Jingan.
Sepeda motor itu banyak dibutuhkan kaum menengah ke bawah. Itu artinya para pedagang sedang dalam upaya menjebak supaya orang terlilit utang. Gak benar itu. Ini tidak bisa dibiarkan.
“Tapi ada juga sih Mas, dealer yang baik…”
“Cobalah kamu cari yang baik itu…” pinta saya.
Kalau benar upaya penggiringan membeli dengan kredit itu masif, saya kira pemerintah perlu menertibkan. Konsumen berhak membeli dengan tunai maupun kredit. Jangan dipaksa dan digiring sebegitu rupa.
Dulu, saya pernah memprotes apotek yang pramuniaganya gencar mempromosikan bahkan terkesan memaksa calon pembeli untuk membeli produk tertentu. Karena beberapa kali mengalami sendiri, saya marah. Saya tulis. Heboh. Viral. Banyak yang mendukung. Alhamdulillah, apotek-apotek itu mulai tertib. Komsumen bersatu tak dapat dikalahkan!
Nah, nyambung soal seruan mencopot aplikasi gojek. Mumpung masih anget. Dulu ada seruan boikot Satiroti, saya gak mau. Saya butuh. Kadang pas istri saya tak punya waktu untuk masak sarapan, Kali cukup makan sebungkus Satiroti.
Demikian juga dengan gojek. Mau gojek mendukung LGBT kek, mau mendukung Jokowi atau Prabowo kek, mau dibilang riba kek, saya gak peduli. Asal saya butuh. Dan saya butuh. Kadang saya tak cukup punya waktu membeli makan. Tinggal pencet, datang makanan. Silakan yang mau mencopot aplikasi itu. Terserah saja. Saya tidak suka melarang-larang. Tapi kalau saya disuruh-suruh mencopot aplikasi itu, haaa ndasmu! Wegah, su!