Salah satu cara membaca peta politik pada Pilgub DKI awal tahun depan adalah dengan membaca imajinasi elit politik Indonesia pada hajatan politik 2019. Mari kita mulai.
Saya mau mengingatkan saja, berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu 2019 nanti akan berbarengan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Serempak. Jadi begitu kita masuk ke bilik suara, kita akan memilih anggota legislatif dari pusat sampai daerah, plus langsung memilih Presiden dan wakilnya. Teknis dan aturannya seperti apa? Saya belum tahu. Tapi itulah yang akan terjadi.
Konsekuensi dari model pemilu seperti itu, plus imajinasi para elit politik Indonesia, yang membuat Pilkada DKI ini makin strategis. Dan karena itu, banyak pihak makin berhati-hati.
Sudah bukan rahasia lagi, siapapun yang akan menjadi Gubernur DKI 2017 bakal punya kesempatan maju sebagai Capres atau Cawapres 2019. Ahok sudah jauh hari menyampaikan bahwa dia ingin menjadi Presiden. Yusril Ihza Mahendra juga. Dan saya mau mengingatkan, turunnya keputusan MK tentang pemilu serempak berbarengan antata legislatif dengan Presiden-Wapres adalah atas tuntutan Yusril dan beberapa orang lain, termasuk Efendi Ghazali.
Sekarang mari kita berhitung. Rasanya, siapapun yang akan menjadi Gubernur DKI nanti, kecil kemungkinan menjadi Capres. Tapi besar potensinya untuk menjadi Cawapres. Fenomena Jokowi susah untuk diulang kembali.
Kalau kita lihat sekarang ini, kemungkinan yang akan bertarung secara sengit di bursa Pilpres nanti akan tetap Prabowo vs Jokowi. Saya belum menemukan nama lain. Setidaknya sampai saya membuat status ini. Di situlah pentingnya seorang Wapres. Mudah saja. Jika Jokowi yang menang lagi, dia sudah dua kali menjabat Presiden. Secara hukum sudah tidak diperbolehkan lagi maju. Tapi jika Prabowo yang menang, pada tahun 2024, usianya sudah 73 tahun. Terlalu tua untuk bertarung lagi.
Di situlah, Wapres menjadi satu kunci penting kepemimpinan nasional, dari kacamata elitis. Dan pada titik itulah, Pilkada DKI menjadi lebih rumit dalam hal kalkulasi politik.
Hemat saya, hal inilah yang membuat Gerindra kecewa ketika Ridwan Kamil tak bersedia maju sebagai bakal calon Gubernur DKI. Popularitas Walikota Bandung ini memang melesat cepat sekali, setara dengan melesatnya walikota Surabaya. Bedanya, Risma sudah masuk ke jabatan periode kedua. Sedangkan Ridwan baru periode pertama, itupun baru separuh lebih dikit.
Di sini pula, Ahok punya kekuatan yang bikin goyah musuh-musuhnya. Bukan saja popularitasnya tambah melejit, tapi juga elektabilitasnya. Pada hitungan seperti yang sudah saya sebut, sebetulnya atas itulah Yusril maju sebagai bakal calon Gubernur. Dia sudah menghitung jauh hari apa yang bakal terjadi.
Menarik bagaimana memperhatikan para partai politik memperhitungkan Ahok. Bagaimana kemudian PKB dan PAN memberi sinyal bakal mendukung Ahok, menyusul Nasdem dan Hanura. Dan semua peluru yang dimuntahkan oleh Gerindra dan PDIP ke Ahok nyaris tak berguna.
Mereka hanya punya dua pilihan yang berat: ikut mendukung Ahok atau melawan Ahok dengan seluruh risiko politik yang ada.
Kalau kedua partai tersebut hanya satu yang mengusung Ahok, katakanlah Gerindra, lalu Ahok menjadi wakil dari Prabowo, maka pertarungan 2019 akan agak berimbang. Atau sebaliknya. PDIP akhirnya balik badan secepat mungkin mendukung Ahok. Dengan Jokowi dipasangkan lagi bersama Ahok pada 2019, separuh pertarungan sudah bisa ditebak.
Tapi kalau kedua partai tersebut berseberangan dengan Ahok, juga punya faktor risiko. Ahok harus kalah. Karena popularitas Ahok itu nyaris tak terbendung. Dan bukan tidak mungkin, misalnya dengan popularitas yang terus terkerek tiba-tiba Surya Paloh maju sebagai Capres dengan Ahok sebagai Wapresnya. Konstelasi politik bisa berubah.
Bagaimana mengalahkan Ahok, inilah yang sedang coba diperas oleh PDIP dan Gerindra. Untuk itulah sebetulnya mereka mengulur terus.
PDIP saya yakin masih menggunakan pola lama yang sejauh ini cukup teruji. Menerjunkan kader-kader terbaiknya, dari pusat sampai daerah untuk memberi pagar betis dari tingkat RT. Asumsinya sederhana, kalau di tingkat RT dijaga 10 kader, maka besar kemungkinan akan menang. Kalau masih ragu-ragu: terjunkan 20 kader. Kader-kader yang diterjunkan itu di bawah komando DPP lewat Bapilu, semua anggota DPR pusat, dan DPRD DKI, plus semua ormasnya. Mesin inilah yang dulu sudah teruji memenangkan Jokowi-Ahok. Tentu tanpa bermaksud menegasikan kontribusi Gerindra dan relawan.
Pertanyaan selanjutnya, apakah kalau Ahok kalah, kartunya masih hidup? Menurut saya tidak. Kartunya tidak mati. Tapi juga tak terlalu hidup. Politikus di Indonesia butuh panggung yang terang. Contoh termutakhir bisa kita lihat pada Mahfud MD. Ketika menjadi ketua MK, popularitasnya melejit. Tapi dia salah hitung. Dia pikir begitu tidak mau dipilih lagi, akan ada gelombang dukungan yang besar. Ternyata hanya ada ombak kecil. Atau contoh mudah yang lain: Abraham Samad. Baru sebentar menjadi ketua KPK, dia sudah langsung masuk radar menjadi bakal calon Wapres. Tapi begitu turun, sekalipun terkesan dizalimi, pamornya tetap meredup.
Dengan analisis yang sederhana di atas, memang pas kalau Ahok selalu tampil dengan mengatakan: Mereka tidak berpikir memajukan Jakarta, tapi mengalahkan Ahok. Itu pernyataan yang jenius. Karena di satu sisi menyerang “niat”, dan di sisi yang lain mencoba menunjukkan ke publik bahwa dia dikepung.
Jadi, menurut saya, jika memang di detik-detik akhir PDIP dan Gerindra, juga beberapa partai lain seperti PKS dan PPP tetap tidak punya jagoan yang berkelas untuk menghadapi Ahok, bukan hal yang mengherankan jika mereka bersatu.
Gerindra satu kubu dengan PDIP, mungkinkah? Mungkin saja. Bahkan Pemilu 2019 nanti, Jokowi maju dengan Prabowo sebagai wakilnya saja sangat mungkin.
Apa yang tak mungkin di Indonesia, Kawan? Nah, lha lalu bagaimana dengan konstelasi para haters masing-masing? Ya, anu…