Kemarin, kedua orangtua saya ke Yogya. Kali senang sekali. Saking senangnya, Kali memberi uang masing-masing 10 ribu rupiah kepada Akung Amin dan Ati Endahnya. Dari situlah, persoalan dompet ini mengemuka.
Ketika Kali memberi uang pecahan 10 ribu sebanyak dua buah dari dalam dompetnya, ibunya melihat ada uang 50 ribu rupiah beberapa lembar. Kemudian dia bertanya kepada saya, diam-diam, apakah pernah memberi Kali uang saku 50 ribu?
Saya menggelengkan kepala. Paling banter saya ngasih uang saku Kali sebanyak 20 ribu. Itu pun hanya dua kali. Selebihnya normal saja. Kalau tidak 5000 ya 4000. Lalu dari mana Kali punya uang banyak di dompetnya?
Ibunya lalu menyita dompet Kali. Tapi tak berhasil membujuk anak itu membuka suara, dari mana bisa mendapatkan uang itu. Jawabannya macam-macam. Bikin pening.
Semalam, saya mengajak Kali main kartu sambil bercanda. Kami tertawa cekikikan. Dia saya gendong. Lalu di sela candaan itu, saya bertanya kepadanya. “Kali, kok bisa sih kamu punya banyak uang di dompet?”
Kali tertawa malu-malu. “Kali bilang ke Bapak dong, dari mana duit itu?”
“Tapi Bapak jangan ngomong ke Ibuk ya?”\
“Ya.”
“Janji?”
“Ya, Bapak berjanji.”
“Kali ambil uang dari dompet Bapak. Kan dompet Bapak ditaruh di meja. Uangnya banyak. Kadang Kali ambil…”
“Kenapa Kali mengambil tidak minta izin?”
“Kalau minta izin pasti tidak Bapak izinkan.”
“Terus untuk apa uang sebanyak itu?”
“Tidak untuk apa-apa. Kali hanya ingin menyimpannya saja. Kali ingin nanti punya uang banyak sehingga gak perlu kerja…”
Saya hampir ketawa. Tapi saya tahan. Anak itu lalu melanjutkan, “Bapak kenapa sih, punya uang sudah banyak kok masih bekerja? Kita kan bisa main catur, main 41 (kartu, maksudnya), pergi ke Bali, pergi ke Rembang.”
Saya hanya nguyel-uyel rambut bocah itu dengan kasih sayang. Ah, seandainya hidup sesederhana pikiran Kali, alangkah nikmatnya hidup ini. Gak perlu kerja. Main belaka. Uang habis tinggal ambil di ATM. Tanpa perlu tahu dari mana uang di ATM itu berasal…