Dari kelaparan, ketemu kera ganas, hingga mengayuh sampan INSIST
Seorang raja di daerah Maluku Tenggara suatu saat melihat seorang laki-laki asing yang sedang terlibat kerja dengan warganya. Raja melihat bagaimana ketekunan laki-laki itu. Rasa penasaran muncul, lalu ia bertanya pada salah seorang warga,”Siapakah laki-laki itu?” Orang yang ditanya oleh Sang Raja hanya bisa menjawab,”Ia seorang konsultan dari Jakarta. Ia mengajak supaya kita tidak memburu penyu, hiu dan lumba-lumba. Ia juga mengajak kita untuk tidak menebang pohon sembarangan.” Laki-laki yang sedang dipercakapkan itu kelak kita kenal bernama Don.
Seberapa penting seseorang terpengaruh oleh orang lain? Dan seberapa penting sebuah peristiwa mencengkeram diri seseorang lalu membalik pengertian akan sebuah dunia? Di pendopo INSIST yang teduh dan penuh angin, Don menceritakan pengalamannya. Don kecil, ia punya seorang pastur yang menginspirasi kehidupannya. Setelah besar, sebuah kejadian tentang pertemuannya dengan kera hitam di pedalaman Kalimantan membalik cara pandangnya atas hidup dan alam.
Pada tahun 1971, sebuah bencana melanda desa Todo, Kecamatan Satarnese, Manggarai, Flores Barat. Gunung Ia meletus dan mengeluarkan abu pekat yang membuat kering dan gagal penen di daerah tersebut. Berbulan-bulan penduduk desa tersebut terpaksa hidup dari bantuan pangan atau mencari makanan ala kadarnya dari hutan. Bahkan untuk mendapatkan air minum pun, mereka harus jalan kaki berkilo-kilo meter. Namun seorang pastur yang bertugas di daerah tersebut mempunyai ide untuk menyalurkan air lewat batang-batang bambu untuk mempermudah mereka memperoleh air. Kerja dimulai. Kebersamaan mendapatkan menifestasinya. Bahu-membahu mereka, penduduk kampung yang sudah punya tradisi kebersamaan yang panjang itu, menebang dan menyambung batang-batang pohon bambu. Seluruh penduduk, tidak peduli besar atau kecil, laki-laki atau perempuan, tidak peduli kaya atau miskin (ah….apa arti kekayaan ketika alam memberi cobaan seperti itu?). Dan Don kecil menjadi saksi, menjadi pelaku di antara duyunan energi yang dipersatukan oleh kebutuhan bersama. Air mengalir menembus ruas-ruas batang bambu, seperti kebersamaan yang menembus segala sekat perbedaan. Kehidupan berubah. Matahari terlihat lebih indah.
Tapi kebersamaan, sebagaimana sebuah nilai kemanusiaan yang lain, ia membutuhkan ujian lebih lanjut untuk semakin dipercaya tuahnya. Sebuah proyek kebersamaan dimulai lagi. Waktu itu, mereka hendak membuat jalan menuju ke desa mereka. Masih dengan si pastur yang bertangan dingin, ia memformulasikan kerja itu dengan sebuah proyek Participatory Approach to Road Construction. Seluruh sumberdaya dan kemampuan lokal dikerahkan untuk menyelesaikan kerja besar itu. Dan Don kecil, ketika ia besar kemudian, ketika lalulintas hubungannya sudah mulai lintas negara, ia baru tahu bahwa apa yang telah dilakukan oleh orang-orang kampungnya itu menjadi salah satu proyek percontohan di berbagai belahan dunia. Hal ini pula-lah yang menginspirasikan Don untuk mempelajari secara khusus collective actions dari sudut pandang ekonomi-politik dan juga memberinya inspirasi untuk mempelajari berbagai metode partisipatoris.
Don kecil tumbuh ditimang waktu, juga masa lalu.
Ia menyelesaikan studinya di SMP dan SMA Seminari di desa kecil bernama Kisol, Kabupaten Manggarai. Dulu, sebelum jalanan itu jadi, ia dan orang-orang di kampungnya membutuhkan waktu kurang-lebih 15 jam untuk sampai ke kota kabupaten dengan jalan kaki maupun dengan berkuda. Buah kebersamaan telah memperpendek waktu dan jarak. Mereka semua menikmatinya, juga Don ketika ia mulai harus menyelesaikan sekolahnya di Manggarai.
Sebagaimana banyak orang yang lain, terutama yang terdidik dan berasal dari luar Pulau Jawa. Don memutuskan untuk ke Jawa, seperti tokoh Minke dalam tetralogi Pram memutuskan untuk ke Batavia. Ia bercita-cita untuk tetap melanjutkan studinya di sekolah tinggi Seminari, tapi karena beberapa hal, Don tidak melanjutkan keinginannya itu. Ia ingin menjadi guru. Hanya sayang, kakaknya telah mendaftarkannya di Fakultas Sosial-politik Universitas Gadjah Mada, jurusan Hubungan Internasional. Ia menyimpan sejenak cita-citanya menjadi guru. Di universitas yang terkenal di Indonesia itu, ia menekuni kuliahnya dengan sangat serius. Hari-harinya dilalui dengan membaca buku, kuliah, dan ia masih menyimpan keinginannya untuk suatu saat, berbekal prestasi yang gemilang (mahasiswa teladan), bisa menjadi dosen. Tapi sebuah peristiwa membalikkan segala keinginannya. sebuah peristiwa yang sangat berarti dalam perjalanan hidup seorang laki-laki yang mempunyai nama lengkap Donatus Klaudius Marut.
Di sela-sela kesibukannya menekuni diktat-diktat kuliah, pria yang berpembawaan kalem ini menjadi seorang guide bagi wisatawan asing. Suatu saat ia membawa serombongan wisatawan mancanegara ke sebuah hutan tropis di daerah Kalimantan Selatan. Dalam sebuah perjalanan jalan kaki melintasi hutan tersebut, Don teringat bahwa salah satu anggota turnya tertinggal di belakang. Seorang pria yang sudah cukup tua. Dengan segera Don balik untuk menyusul pria tadi. Di tengah perjalanan itulah, seekor kera hitam yang besar menghadangnya. Don lemas. Di buku panduan wisata yang ia baca, kera jenis ini terkenal sangat ganas. Ia duduk, dan dengan keseluruhan perasaan yang ada di dalam dirinya, ia berkata, “Ayo, kera….aku tidak mengganggumu…” Di luar perkiraan, kera itu seperti memahami apa yang diucapkan oleh Don. Dan kera itu berlalu begitu saja. Peristiwa itulah yang membuat Don mulai tertarik untuk mempelajari alam dan binatang.
Sepulang dari tur itu, ia sibuk mencari buku-buku yang bisa mengantarnya untuk memahami alam. Sebuah buku karangan Conrad Laurentz berjudul King Salomon’s Ring semakin membuatnya yakin bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan antarmakhluk bisa saling berbagi dan berkomunikasi. Buku lain yang semakin memperkokoh keyakinannya adalah The Silent Spring karangan Rachel Carson. Tetapi pemahaman alam yang menuju ke tingkat tindakan didapatkan oleh Don dari buku-buku Henry David Thoureau. Henry yang mempunyai pemikiran tentang Civil Disobedience mengajarkan kepada Don bahwa pada tingkat tertentu, tindakan perlawanan dan pembangkangan harus dilakukan jika aparatus negara justru tidak melindungi kepentingan warganya. Warga berhak untuk tidak patuh membayar pajak jika, misalnya, negara membiarkan penebangan pohon yang merugikan banyak orang dan mengancam kelestarian alam.
Keinginan untuk mengajar dan menjadi dosen telah terselip dalam buku-buku ekologi yang didalami oleh Don sekalipun ia telah lulus dari studinya. Dan penguasaannya atas materi-materi ekologi mengantarnya menjadi seorang konsultan bagi banyak proyek baik swasta maupun pemerintah yang melibatkan faktor alam. Dari sana, Don melihat dengan mata kepala sendiri betapa kolusi mewarnai praktik ekonomi-politik negara ini. Tender-tender yang hanya formalitas belaka, main sogok, kolusi, adalah peristiwa yang nyaris saban waktu disaksikannya. Pengalaman masa kecil kembali menyelinap. Don teringat bagaimana ketika ia masih kecil sering menyaksikan kunjungan pejabat-pejabat. Sekolah libur, latihan menyanyi dan baris-berbaris, pakaian harus baru, dan semua itu hanya untuk menyambut serombongan makhluk korup yang bernama pejabat. pada tingkat tertentu, kompromi sudah tidak lagi bisa dilakukan. Don mengemas barang. Ia pergi dari tempatnya bekerja, tempat yang basah oleh uang dan kuasa. Pada banyak orang, penderitaan adalah pilihan. Don telah memilih hidupnya dengan kepala tegak.
Kemampuannya dalam bidang ekologi membuat banyak institusi melirik Don. Tapi kemudian ia memilih OXFAM sebagai tempat beraktivitas. Saat itu ia belum tertarik dalam dunia NGO, apalagi setelah di OXFAM dia tahu banyak praktik di dunia LSM yang tidak punya andil bagi proses kemanusiaan. Seperti guntur yang mengguruh di langit. Kerja-kerja LSM dilihatnya tidak mampu melihat dengan mendalam kebutuhan masyarakat, sehingga kebanyakan hanya menghasilkan dua hal: isunya saja yang membesar tanpa ada perubahan di tingkat masyarakat, atau kebijakan yang turun salah urus dan salah tempat. Dua hal yang sama-sama tragis.
Dalam kebimbangan seperti itu, kebetulan OXFAM memberinya kesempatan untuk pergi ke India. Di negara tersebut, barulah Don terbuka matanya. Ada sesuatu yang bisa dilakukan. Di sana ia melihat sebuah contoh yang sangat luar biasa yang dilakukan oleh sebuah organisasi rakyat yang bernama Friends of Trees and Living Beings. Kesempatan untuk belajar langsung dari kerja organisasi rakyat itu tidak disia-siakan. Ia mencerapnya, dan berharap pulang untuk segera mempraktikannya. Dan waktu, membawanya ke sebuah pengalaman hidup yang lain: daerah Maluku Tenggara.
Orang itu bernama Roem Topatimasang. Don mengenalnya pertama kali ketika di OXFAM ada kerja pengenalan program komputer Windows bagi para aktivis OXFAM. Roem adalah orang yang dipercaya lembaga itu untuk memperkenalkan program tersebut bagi para aktivis OXFAM. Benda bertemu karena jenisnya, manusia cenderung berkumpul karena sifatnya. Perkenalan itu membawa Don semakin larut dalam kerja pengorganisasian rakyat. Roem yang mempunyai banyak pengalaman dalam hal tersebut banyak memberi dorongan pada Don untuk mengerjakan hal serupa. Nasib bersambut. OXFAM menugaskan Don ke daerah Maluku Tenggara dalam rangka kerja yang sedang diimpikannya.
Berbekal seluruh pengalamannya, terutama yang didapatkan dari India, Don tidak berpikir panjang. Ia segera pergi ke Maluku Tengara, dan berproses di sana. Wilayah kerjanya meliputi Pulau Kei Besar, pulau Kei Kecil, Kepulauan Aru dan Tanimbar. Ia turun langsung, mendengar, melihat, dan bekerjasama dengan penduduk di sana. Ia terlibat langsung dalam deru napas dan menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Hingga suatu saat, ketika Don sedang berada di sebuah perahu ketika menuju ke salah satu wilayah kerjanya, salah seorang penumpang berkata bahwa Raja Watlaar Pulau Kei Besar ingin bertemu dengannya. Don tertegun. Ia seperti bermimpi. Tapi percik air menyadarkannya bahwa ini benar-benar terjadi: sebuah undangan dari seorang Raja yang disegani dan punya komitmen besar terhadap warga dan kelestarian alam.
Tidak menunggu waktu lama, Don segera menuju ke daerah Watlaar Kepulauan Kei Besar untuk bertemu sang Raja. Sesuatu yang mirip mimpi itu datang lagi, kini berbentuk pesta penyambutan yang luar biasa. Seluruh penduduk berbondong-bondong menyambut Don, dan musik mengalun rancak mengiringi sebuah peristiwa yang mustahil dilupakan oleh Don. Pesta itu telah mengukuhkan Don, sehingga ia bukan lagi ‘seseorang yang asing’ atau ‘seseorang yang datang dari Jakarta’, tapi sudah menjadi bagian dari mereka, para warga di wilayah kerjanya.
Try Soetrisno mencak-mencak. Waktu itu Tty Soetrisno menjabat sebagai Panglima ABRI. Kemarahan Sang Jendral itu dipicu oleh sebuah kasus penebangan hutan di wilayah Yamdena, Tanimbar. Rakyat di wilayah itu melawan kesewenang-wenangan pemerintah yang kong-kalikong dengan pengusaha besar Liem Swie Liong untuk melegalkan penebangan hutan di daerah tersebut. Di wilayah itu, Don bekerja. Bahu-membahu bersam warga setempat dan kawan-kawannya dari berbagai daerah, Don ambil bagian dalam perlawanan itu. Pada sebuah titik didih tertinggi, kemarahan massa tidak terbendung, segala peralatan penebangan pohon yang mengancam hajat hidup orang banyak dibakar. Beberapa warga di sana dimasukkan penjara, salah satu cara yang sampai sekarang masih digunakan oleh kekuatan angkuh negara. Isu membesar. Bahkan mahasiswa di Jawa yang tidak tahu persis dimana letak Yamdena pun mengadakan advokasi didorong oleh perasaan atas senasib-sepenanggungan. Mereka, mahasiswa-mahasiswa itu, bergerak membela. Berbagai kekuatan disinergikan untuk melawan kehendak penguasa yang tidak punya perasaan. Dan peristiwa itu mengantar Don berkenalan dengan Saleh Adullah salah seorang aktivis LSM SKEPHI di Jakarta.
Try Soetrisno masih mencak-mencak. Ia menolak fakta bahwa ada warga Tanimbar yang dipenjara, dan menolak bahwa Kopassus terlibat di sana. “Buktikan!”
Seorang suster memberikan bukti berupa kaset rekaman dengan mereka yang ada di penjara. Tapi bukti itu masih teramat rapuh. Hingga kebetulan, waktu itu, ada acara bakti Napi yang sedang dilaksanakan di sebuah rumah sakit. Salah satu warga tahu itu. Dengan segera orang tersebut melapor ke Roem dan Don yang waktu itu berada di sana. Kini, dengan berbekal kamera video, mereka merekam secara audio-visual orang-orang Tanimbar yang dipenjara lengkap dengan pakaian dan atribut Napi mereka. Kebetulan pula, salah seorang anggota koperasi yang didukung oleh Peter Elmas (Peter Elmas, nama rekan kerja Don di Pulau Kei Kecil) adalah anggota AURI yang punya data tentang orang-orang Kopassus yang diturunkan di wilayah tersebut. Bukti sudah sedemikian kuat dan dikirim ke Jakarta. Suasana memanas. Jakarta gerah. Lobi tingkat tinggi dilakukan, dan sebagai mediatornya: Hendro Priyono yang waktu itu menjabat sebagai Pangdam Jaya. Bahkan konon dalam peristiwa itu, anak Hendro Priyono menikah dengan anak salah seorang tokoh di Ikatan Cendekiawan Tanimbar yang berseberangan dengan kebijakan negara. Dan dengan tenang tokoh itu bicara di depan banyak orang, “Masalah keluarga adalah masalah yang lain, dan yang menjadi masalah penting kita adalah bagaimana menyelematkan hutan kita!”
Masalah itu berlangsung sangat lama. Ukuran waktu mencatat peristiwa itu berlangsung mulai tahun 1991 sampai tahun 1997. Kampanye internasional digalakkan. Hingga kemudian sebuah peristiwa mengakhirinya. Soeharto waktu itu ingin ikut pertemuan G7 yang sedang diadakan di Tokyo. Tapi wakil dari Eropa memberi syarat, bebaskan dulu hutan Tanimbar. Surat disposisi dari orang nomor satu di republik ini waktu itu, keluar.
Kejadian besar itu semakin memperkaya pengalaman seorang Don. Ia amat kagum pada kemandirian dan terorganisirnya warga di Maluku Tenggara. Mereka tidak begitu tertarik dengan bantuan dari pihak luar yang berupa uang. Mereka sangat gila dan haus akan pengetahuan. Dengan hukum dan tata-cara adat yang bersejarah dalam hidup mereka, mereka sudah tahu bagaimana hidup ini dijalankan dan bagaimana harus dipertanggungjawabkan terutama bagi generasi yang akan datang. Don belajar banyak hal di sana, juga berkenalan dengan banyak orang yang segagasan dengannya, baik warga di sana maupun orang lain yang satu cita-cita. Bahkan perkenalannya dengan Mansour Fakih pun terjadi di sana. Saat itu, warga yang haus akan pengetahuan itu membutuhkan seorang fasilitator. Dan Roem merekomendasikan sebuah nama: Mansour Fakih, yang waktu itu merupakan kandidat doktoral dari University of Massachusetts.
Kurang-lebih tujuh tahun, Don bekerja di wilayah Maluku Tenggara. Banyak hal telah ia alami, bahkan pernikahannya dengan Fransisca Pianee pun dilakukan di sela-sela aktivitasnya di Maluku Tenggara. Kini pernikahan itu telah membuahkan seorang anak: Patrick Alexander Marut.
Pada tahun 1997, merasa masih kurang dengan bekal pengetahuan yang ada, Don meneruskan studinya di Cambridge University memperdalam Development Studies, lebih khusus mengenai institutional aspects of development. Selepas dari studinya, ia sempat aktif di NGO-NGO besar bertaraf internasional seperti PACT, SEACA dan SEAPCP dan bertugas di beberapa negara seperti Thailand dan Filipina. Disela-sela berbagai aktivitasnya, ia masih menyempatkan untuk memperdalam ilmunya di bidang Natural Resources and Environmental Economics, Faculty of Economics, Chulalongkorn University, Thailand.
Don ada di Jakarta waktu itu, ia aktif di SEAPCP dan kadang-kadang mengajar di beberapa universitas di sana untuk membayar hutang keinginannya dari dulu: menjadi dosen. Hingga suatu saat telepon datang bergiliran, dari Mansour Fakih dan dari Toto Raharjo. Dua orang tersebut telah lama dikenalnya. Mereka berdua, Mansour dan Toto, aktif di sebuah lembaga bernama INSIST. Don diminta oleh kedua orang tersebut untuk menahkodai INSIST. Don bersedia, tapi dia memberi syarat,”Saya orang yang tegas, terutama ketika ada banyak penyimpangan. Saya tidak bisa kompromi dengan kesalahan yang fatal sifatnya.”
Adalah alamrhum Mansour Fakih, seorang doktor yang punya pengalaman dalam popular education dan social movement, berinisiatif untuk membuat wadah bagi para aktivis yang kaya pengalaman dan kualitas. Lalu terkumpullah di sana, tokoh-tokoh gaek dalam dunia pengorganisasian massa, pendidikan popular, dan gerakan sosial seperti Roem Topatimasang, Toto Raharjo, Saleh Abdullah, PM Laksono, Francis Wahono dan masih banyak yang lain. Mereka semua membawa keahlian dan pengalaman yang berbelas bahkan berpuluh tahun ditekuni. Batangan-batangan pengalaman tertali sudah. Pada tahun 1997, sampan yang kemudian diberi nama INSIST telah selesai dirakit, meluncur, mengerjakan misi-misinya untuk ikut ambil bagian dalam penguatan masyarakat sipil. Don memenuhi pinangan kawan-kawan lamanya untuk ikut ambil bagian. Ia mempunyai keinginan agar INSIST menjadi tempat untuk belajar, sharing pengalaman dan keahlian bagi aktivis gerakan sosial dan NGO supaya kapasitas teknis mereka terus meningkat. Don tidak ingin mereka, kaum aktivis sosial dan NGO, dianggap sebagai ‘reject group’.
Dan Don di awal-awal tugasnya di INSIST memang membawa banyak perubahan. Beberapa orang bahkan melengak, ketika di sebuah forum rapat internal ia menandaskan,“Beberapa bulan lagi seluruh keuangan INSIST harus bisa diakses oleh unit-unit yang ada. Ini salah satu bentuk dari kontrol bersama. Praktik transparansi.”
Don yang berkeinginan jika kelak tua bisa berladang di tanah yang sudah dipersiapkannya di luar Jakarta, yang senang melihat siaran sepakbola, dan suka sekali makan tempe bacem, kini bukan hanya menjadi nahkoda. Ia ikut mendayung sebuah sampan yang bernama INSIST.
oOo
Yogya, 12 September 2005
Catatan: Tulisan ini seperti tertera di titimangsa pembuatannya, saya buat pada tahun 2005. Sekarang, teman saya Don Marut sudah berada di Jakarta, menjabat direktur INFID.