Sekalipun Dongkrak sudah berusaha menyembunyikan segala hal yang terkait dengan aktivitas keagamaannya, tetap saja semua bocor. Banyak orang membicarakannya dengan diam-diam.
Nama aslinya Agus Priyanto. Lulus dari SMP, Agus langsung menjadi kenek bis mini lintas kecamatan. Hingga pagi itu, dia mengubah sejarah hidupnya sendiri.
Pagi itu, sebagaimana biasa, habis mandi, Agus sudah ngopi di terminal kecil sebelum kemudian bekerja. Anak-anak sekolah sudah masuk di dalam bis mini, menunggui Agus dan Slamet, si sopir, usai ngopi. Slamet keluar duluan untuk memanaskan mesin bis. Tapi mendadak banyak orang menjerit. Agus melongok dari jendela warung. Di luar, pemuda yang baru berusia 16 tahun itu melihat Slamet dihajar Kamto, preman terminal yang terkenal kejam. Slamet terguling-guling ditendang dan dipukuli Kamto. Tak ada satu orang pun yang berani memisah. Tak juga seorang polisi yang sedang sarapan di warung sebelah.
Agus segera berlari ke arah bis, mengambil dongkrak. Di saat Kamto jongkok hendak terus memukuli Slamet, Agus mengeprukkan dongkrak itu di kepala Kamto. Seketika preman nomor wahid itu terkapar. Ketika dia hendak bangkit melawan, Agus kembali mengeprukkan dongkrak di wajah Kamto.
Ketika kejadian yang berlangsung kurang dari 30 detik itu terjadi, terminal kecil yang mulai ramai itu mendadak lengang. Tak ada suara. Bahkan tak ada yang bertindak apapun ketika tubuh Kamto mulai mengelejot. Slamet yang berdarah dan bonyok di mukanya pun hanya menyandarkan tubuhnya di roda bis, memandang Kamto yang sekarat. Sementara itu, Agus menuju ke kamar mandi terminal, mencuci tangannya yang penuh darah, lalu masuk ke warung tempat dia ngopi, menandaskan kopinya yang baru diminum separuh. Lalu dia keluar. Mendekati Slamet. Membantu Slamet bangkit. Sopir yang wajahnya mirip Rano Karno itu lalu berbisik ke Agus, mengambil dompetnya, dan memberikan semua isi dompet itu ke Agus.
Dengan langkah pelan, Agus berjalan menuju jalan raya di depan terminal. Mencegat bis antarprovinsi. Semenjak itu, sekalipun selama tiga tahun pergi dari kota itu, nama Agus terus dibicarakan dan diberi julukan baru menjadi Agus Dongkrak. Kelak ketika dia pulang, nama Agus lenyap. Orang cukup memanggilnya dengan Dongkrak.
Ketika pulang tiga tahun kemudian itulah, Dongkrak sudah berubah. Sudah bukan lagi seorang kenek. Dia sudah tumbuh menjadi gali yang disegani. Semua hal dijalani. Dari mulai menjadi bandar pil koplo, menyediakan tempat judi yang aman, sampai kemudian yang membuatnya kaya adalah ketika menjadi penadah kayu jati curian.
Dongkrak tumbuh menjadi orang kaya. Dia hampir saja mencalonkan diri jadi Bupati sekalipun tak lulus SMA. Tapi kemudian entah karena apa, Dongkrak lalu berbelok 180 derajat. Seperti kisah-kisah sinetron: dia insyaf dan mulai belajar segala hal yang berbau agama dan spiritual.
Awalnya dia berusaha sembunyi-sembunyi, mengaji di luar kota, dengan gurunya yang dikenal orang sebagai seorang sufi. Membangun masjid pun dilakukannya dengan diam-diam. Termasuk membantu anak yatim-piatu.
Karena sudah banyak yang tahu, lambat laun Dongkrak melakukan aktivitas keagamaannya dengan terbuka. Dia tak perlu lagi salat Jumat keluar kota supaya tidak kentara. Dia mulai sering terlihat berpeci datang ke masjid untuk ikut berjamaah salat Magrib. Mulai sering mengadakan pengajian. Dan tentu saja tergabung dalam sebuah tarikat yang entah bernama apa.
Hampir 5 tahun semua berlangsung seperti itu. Hingga kemudian hal menggegerkan terjadi lagi. Dongkrak menghajar guru sufinya di depan rumah sang guru.
Semua itu dimulai dari ketika beberapa murid si guru mencium indikasi korupsi. Sumbangan-sumbangan yang dikumpulkan guru sufi itu dipakai untuk membangun rumah dan membeli mobil mewah. Kasus itu kemudian meledakkan hal lain: si guru berhubungan seksual dengan murid-murid perempuannya atas legitimasi “hubungan seksual yang dilandasi perintah langit”.
Mendengar kejadian itu, Dongkrak tak berpikir panjang. Dia kendarai jip kesayangannya menuju rumah guru spiritualnya itu. Si guru yang sedang berceramah di lingkaran kecil muridnya, diseret di pinggir jalan, lalu dihajar sampai babak belur, dan mukanya dikencingi.
Tarikat itu langsung buyar. Terlebih ketika semua murid memberikan pengakuan-pengakuan yang menyatakan sikap buruk si guru.
Dongkrak kecewa sekali. Di usianya yang mulai menua, kekecewaan itu begitu mendalam. Kini, setiap malam, untuk mengalihkan rasa sakit hati, dia menghabiskan waktu dengan berjudi, dan mabuk.
Tempat mabuk yang paling disukainya adalah di warung tempat dia ngopi dulu. Ketika dia mabuk, dia berjalan di tempat ketika dulu dia mengepruk kepala Kamto dengan dongkrak bis mini. Di situ dia bicara sendiri. Entah bicara apa.
Orang-orang hanya berani memandang kejadian itu. Tak ada yang berani berkomentar apa-apa.
Orang-orang hanya sering mendengar ketika Dongkrak sedang mabuk berat berkata, “Mungkin jatahku memang masuk neraka. Mau berubah saja, malah bertemu dengan guru agama bajingan!”
#BelajarMenulisCerpen