Sebetulnya aku sedikit gamang, apakah persoalan seperti ini harus kupublikasikan? Apakah tidak cukup kutulis untuk diri sendiri?
Tapi nyatanya aku menuliskannya begitu saja. Apa yang memang harus ditulis, ditulis saja. Kalau memang merasa baik dipublikasikan, dilakukan saja.
Salah satu pesan yang terekam kuat sebelum aku pergi keluar dari rumah, datang dari salah satu sahabatku: “Jangan dilawan. Dialami saja.”
Dan aku masih bisa mengingat dengan baik semua rentetan pagi tadi begitu usai “mengalami”. Aku keluar dengan dua teman kantor untuk menyelesaikan urusan kantor. Ternyata tidak serumit yang kubayangkan. Hanya sedikit tidak jenak karena cuaca agak lengas, aku malah memakai celana panjang. Karena hari masih cukup pagi, usai menuntaskan urusan tersebut, aku mengajak mereka menonton pameran retrospeksi Ugo Untoro di Universitas Sanata Dharma. Tidak begitu lama di tempat pameran itu, karena sadar kalau salah satu teman harus menunaikan salat Jumat, aku buru-buru pulang. Sebelum sampai rumah, kami bertiga sempat makan siang di warung penyet, makan rica ayam, tempe penyet, dan pete.
Tiba di rumah, semua badanku terasa lengket oleh keringat. Yogya sedang terik berat. Aku juga masih mengingat dengan baik, mengganti celana panjang dengan celana pendek, mencopot kaos cokelat berkerah dengan kaos oblong biasa yang tipis karena cuaca gerah.
Aku bersiap tidur. Berharap malamnya lebih bugar agar bisa menyelesaikan beberapa pekerjaan. Tapi mendadak aku sudah berada di sebuah tempat yang sangat asing. Semua warna dalam balutan warna monokrom. Dari sekian banyak orang yang berada di sana, hanya ada satu orang yang rasanya kukenal.
Dia sedang berbincang dengan beberapa orang. Aku mencoba menyapanya dari jauh. Sayang dia serius sekali menyimak obrolan teman-teman di sekelilingnya. Tidak melihat ke arahku.
Suasananya seperti restoran. Tapi tidak ada makanan dan minuman. Tidak ada piring dan gelas. Sekaligus suasananya mirip rumah sakit. Tapi tidak ada bangsal dan orang-orang yang tergeletak sakit. Tempat apa ini?
Lalu aku memperhatikan wajah-wajah yang ada. Wajah dan postur mereka berbeda satu sama lain. Juga busana mereka. Tapi setelah kuamati dengan baik, wajah-wajah itu seperti satu umuran. Tak ada yang tampak lebih muda dan tak ada yang tampak lebih tua. Sama. Menjelang usia 40 tahun semua.
Seseorang kurasakan menggamit lenganku, dan aku manut begitu saja. Kami berdua ke arah jendela. Ketika menatap pemandangan di luar jendela itu, aku sadar, aku sedang berada di Jakarta. Aku hapal betul pemandangan di luar adalah pemandangan dari sebuah hotel langgananku. Kamar nomor 518. Persis sama. Selama enam tahun lebih aku selalu di kamar itu kalau sedang di Jakarta. Aku hapal semua hal jika memandang ke arah jendela. Juga perubahan-perubahannya.
Ketika aku menyadari diriku berada di Jakarta, aku ingin memastikan lagi suasana di dalam ruangan ini. Mendadak pula aku menyadari kalau aku berada di dalam kamar langgananku. Kamar nomor 518. Apa-apaan ini? Pesan temanku terngiang, “Jangan dilawan.”
Aku diam. Duduk di sofa kamar hotel. Aku mencoba meraba sofa itu. Ini nyata. Aku meletakkan tanganku ke tempat tidur. Ini nyata. Aku bangkit dan berjalan ke meja kerja, melihat meja kayunya. Ini nyata. Aku mau melangkah ke kamar mandi untuk mencuci muka, tapi kembali suara sahabatku yang berpesan lewat telepon kembali terngiang, “Jangan dilawan.”
Aku urung. Lalu aku berbaring di atas tempat tidur. Aku tahu aku akan terlelap. Dan aku tahu aku akan bangun di mana.
Benar aku terlelap. Tapi aku bingung ketika bangun. Tidak di kamar hotel itu tapi juga tidak di dalam kamarku. Aku berada di dalam sebuah kamar yang gelap sekali.
Di mana ini? Oh, ini kamarku memang. Kamar di dalam rumahku. Hanya saja hari sudah gelap. Aku bangkit pelan. Sama sekali tidak ada rasa panik dan kemerungsung. Aku menyalakan lampu di ruang tengah. Kemudian mengambil air putih. Usai minum, aku meraih hp, memeriksa beberapa pesan dan menjawab pesan-pesan itu. Selesai. Azan bergema. Aku mengecek penunjuk waktu di hp-ku. Oh, azan Isya. Sebentar lagi aku harus mandi. Lalu pergi memimpin rapat.
Mendadak aku ingin melakukan sesuatu. Aku lakukan begitu saja. Menelepon manajer hotel langgananku. Sebut saja namanya Tomi, langsung menyambut dengan hangat dari seberang.
Aku minta tolong dicek apakah hari ini kamar nomor 518 terisi? Kosong, jawabnya. Baru hari Senin akan terisi. Dia bertanya apakah aku akan menginap di sana? Tentu saja jawabku: tidak.
Aku hampir saja menutup telepon ketika kemudian Tomi bilang kenapa aku tadi tidak jadi menginap?
Maksud Anda?
“Tadi saya lihat Anda keluar dari hotel waktu saya baru mau masuk parkiran.”
Hah, jam berapa?
“Menjelang Magrib.”
Yakin itu saya?
“Awalnya gak begitu yakin karena saya jarang melihat Anda pakai celana panjang. Kenapa kok malah bertanya?”
Tiba-tiba terngiang, “Jangan dilawan.”
O tidak, aku memang awalnya mau menginap di sana tapi mendadak harus balik ke Yogya.
“Oh, Anda memang sibuk sekali.”
Telepon aku tutup setelah berbasa-basi. Aku segera mandi. Di dalam kamar mandi, mendadak aku merasa damai sekali. Air mengguyur kepalaku pelan. Segar.
Tiba-tiba aku penasaran dengan wajah orang yang merasa kukenal di ruangan monokrom itu. Ruangan yang mirip restoran sekaligus mirip rumah sakit.
Tapi siapa dia?
Segera aku mengambil handuk. Ingin mencari tahu laki-laki yang kukenal itu. Mungkin dengan cara mengecek foto-foto di Facebook. Siapa tahu keberuntungan berpihak kepadaku. Lagi-lagi, suara sahabatku terngiang, “Jangan dilawan.”
Tapi rasanya aku tak peduli. Saat aku mengeringkan rambutku, mendadak aku melihat ke arah cermin. Dan segera semua terasa berhenti.
Wajah di cermin itu sama persis dengan wajah yang kulihat di ruangan monokrom itu.
Segera aku menelepon seseorang. Bercerita tentang kisah semalam dan sore tadi.
“Kowe lagi nglakoni?” Kamu sedang tirakat?
Tidak.
Terdengar suara orang menarik nafas panjang dari seberang. Tiba-tiba aku ingat sesuatu saat melihat jam di tembok. Aku meminta maaf karena harus menutup telepon. Aku telat memimpin rapat.
Dia mengiyakan dan bilang tak mengapa. “Pesanku untuk sementara sama: Jangan dilawan. Biarkan saja. Dialami saja.”
Aku hanya diam. Tapi tidak sedikit pun merasa waswas dan panik.
Aku berangkat rapat.