Seminggu ini, aku kembali ke kehidupan sehari-hari. Mencari makan, menafkahi keluarga, menjaga agar perusahaan kecilku tetap hidup, bercengkerama dengan keluargaku. Tidak ada kejadian aneh. Sahabatku tidak pernah menghubungiku. Hanya kedutan di wajah yang masih sering terjadi. Juga, aku belum sempat ke rumah Om Tan.
Aku sudah necis. Izon, salah satu orang kepercayaanku, sudah menunggu di beranda. Belum pukul sembilan pagi.
Anak laki-lakiku yang berumur 3,5 tahun juga sedang bersiap pergi sekolah. Tiba-tiba dia teriak, “Bapak, kita nanti ke lantai ya?”
Mendengar itu, aku segera membatin sekaligus ingin memberi reaksi cepat atas permintaannya. Kenapa harus nanti. Sekarang saja. Batinku. Lalu sekalipun sudah necis, aku ndelosor ke lantai. Sembari berharap dia akan naik ke punggungku, bermain kuda-kudaan.
“No, Bapak! No, Bapak!”
Aku mengernyit.
“Kita nanti main pasir!”
Sambil berdiri, aku masih bingung. Istriku yang sedang berdandan di dalam kamar tertawa tergelak. Dia keluar sambil bicara tanpa suara, memberi kode: Ke pantai.
O, ke pantai…
Segera pula aku menjunjung anakku. Dia terkekeh. Ke pantai, Nak?
“Iya, ke lantai!”
P a n t a i.
“Pantai!”
Nah, pintar! Oke, nanti Bapak antar ke pantai. Kita main pasir. Aku lalu memeluknya. Membacakan Alfatihah lalu menipukkan ke telinga kanannya, membaca Al Ikhlas kemudian meniupkan ke telinga kirinya, dan membacakan Ayat Kursi, lalu meniupkan ke ubun-ubunnya.
Kami keluar rumah bersamaan. Aku sempat berbincang sebentar dengan Izon. Istriku berangkat duluan mengantar anakku sekolah. Anakku sempat membuka kaca mobil sambil teriak, “Bapak, jangan lupa kita nanti main pasir ke lantai!”
Aku tertawa ngakak. Aku dan Izon masuk mobil, mengarah ke sebuah hotel.
Di sebuah ruangan rapat kecil, di sebuah hotel berbintang 5 di Yogya, aku masuk diikuti dengan Izon. Pertemuan baru akan terjadi setengah jam lagi. Tapi aku selalu lebih suka menunggu. Lebih siap dalam segala hal, dan yang paling penting: lebih punya waktu untuk rileks.
Ketika aku masuk, agak kaget. Gunarto, laki-lali dari Rogojampi, Banyuwangi, sudah ada di dalam ruangan. Dia tampak membaca koran pagi. Agak lama aku tidak ketemu dengan sosok ramping itu. Usianya 50an tahun. Hobinya berlari.
Kami bersalaman dan berbagi kabar. Aku bertemu dengannya mungkin sepuluhan tahun lalu, ketika hampir semua karyawan di sebuah perusahaan biro wisata terbesar di Bali melakukan bedol desa. Pindah bekerja ke sebuah hotel yang baru saja buka. Perusahaan itu kemudian membentuk satu tim yang bertugas untuk mencari orang-orang di posisi-posisi penting. Waktunya hanya dua minggu.
Semenjak itu kami berdua sesekali ketemu, untuk satu jenis pekerjaan ini. Gunarto seorang “head hunter” yang cemerlang. Dia seorang negosiator terbaik yang pernah kukenal.
Dia yang mencari kelebihan orang-orang, lalu berunding dengan mereka, tugasku mencari “kelemahan” orang-orang yang dipilihnya sebagai proses seleksi, klien kami kemudian memilih salah satu di antara mereka.
Seorang perempuan masuk ke ruang itu. Dia tersenyum. Menyapa kami. Dan mengatakan, bosnya sebentar lagi akan datang.
Kami berempat duduk mengelilingi meja kecil. Bau kopi memenuhi ruangan.
Tidak lama kemudian tiga orang masuk. Kami bersalaman lagi. Berbasa-basi sejenak. Laki-laki beruban dengan kumis tipis yang juga beruban di depanku ini, dari prejengannya tidak akan ada yang mengira kalau seorang Dirut dari sebuah perusahaan yang ternama. Kemudian ada perempuan berjilbab separuh baya, dia direktur HRD. Sementara yang lain adalah dua perempuan muda. Perempuan pertama, yang tadi menyapa kami, dan perempuan kedua yang ikut masuk bersama Dirut dan direktur HRD itu aku kira adalah sekretaris salah satu di antara mereka.
Bau parfum-parfum mahal menebar di ruangan. Bercampur dengan bau kopi.
Aku menjejak kaki Izon. Dia meringis. Sambil salah tingkah. Izon adalah laki-laki pemalu. Dia selalu grogi kalau rapat dengan perempuan.
Rapat dimulai. Cepat. Mereka baru saja kehilangan salah satu direktur operasional karena sakit jantung mendadak. Mereka meminta Gunarto memburu beberapa orang yang bisa mengisi posisi itu, sebab orang-orang di perusahaan itu belum ada yang punya kapasitas mengisi jabatan yang ditinggalkan almarhum. Dan mereka memintaku untuk melacak dan memindai hal-hal yang punya potensi membahayakan dari orang-orang tersebut.
Gunarto presentasi cepat. Dia sudah memilih 3 kandidat. Dokumen ketiga kandidat itu sudah diberikan kepada kantorku tiga minggu lalu. Izon yang memimpin tim kecil untuk menginvestigasi ketiga orang kandidat itu, dari berbagai sisi.
Aku juga presentasi cepat. Apa kelemahan setiap kandidat, dan potensi buruk apa yang bisa membahayakan perusahaan itu jika memilih mereka.
“Ini kenapa yang dipilih Pak Gun kok semuanya “Ma lima”…” seloroh Bu Direktur HRD.
“Ma lima” adalah istilah Jawa: madat (narkoba), madon (maim perempuan), minum (suka minuman alkohol), main (judi), dan maling.
“Dari paparan tadi,” Gunarto mengerling ke arahku, “tidak ada yang madat dan maling…”
Aku mengangguk. Mendukung pernyataannya.
“Ya tapi kalau bisa yang nanti mengisi posisi strategis ini tidak ada yang “Ma lima”…” sergah ibu berjilbab itu.
“Maaf, saya diminta mencari orang yang punya kapasitas untuk mengisi jabatan itu, bukan mencari calon penghuni surga.”
Aku hampir tergelak mendengar jawaban Gunarto. Wajah ibu berjilbab itu tampak merah padam. Tapi situasi itu segera hening ketika Sang Dirut menanyakan pendapatku.
Aku memilih orang ketiga. Alasanku simpel, orang pertama selingkuh dengan bawahannya. Selingkuh bukan urusanku, tapi orang yang selingkuh dengan bawahannya biasanya punya potensi buruk dalam hal kekuasaan. Orang kedua tidak kupilih karena dia punya portofolio yang panjang.
“Bukankah itu bagus? Berarti pengalamannya banyak…” kembali Ibu direktur HRD itu memotong pembicaraan orang.
Aku menggeleng. Kalau menurutku tidak. Portofolionya panjang karena dia sering berganti perusahaan.
“Berarti kan pengalamannya banyak, bukan?”
Ya, itu artinya dia pengalaman keluar dari perusahaan. Sambutku. Dan itu artinya punya persoalan dengan loyalitas.
“Berarti menurut Anda yang cocok adalah kandidat ketiga?” Sang Dirut bertanya dengan muka sangat serius.
Aku mengangguk mantap. Dia pemabuk. Dalam situasi mabuk, orang bisa sangat teledor. Tapi dari data yang tadi kupaparkan, dia hanya mabuk dengan orang-orang itu saja. Orang-orang yang sama. Kawan-kawan dekatnya. Bergantian di rumah mereka. Bukan di tempat umum.
“Dia juga penjudi, kan?” sepasang matanya tajam menatapku.
Dulu. Sekarang dia alihkan gairah itu ke main saham.
“Tapi itu membuatnya miskin.”
Rugi. Bukan menjadi miskin. Dan tidak ada bukti karena kerugiannya, dia kemudian korupsi.
Kepala Dirut itu kemudian mengarah ke Gunarto. “Kenapa dia mau pindah perusahaan?”
“Anak perempuan satu-satunya kuliah di Jakarta. Dia sangat sayang dengan anaknya. Karena itu dia mau pergi dari Denpasar.”
Dirut itu diam. Tak lama kemudaian dia mengucapkan terimakasih. Kami saling bersalaman. Lalu kami bubar. Rombongan klienku balik segera menuju ke Semarang untuk urusan bisnis mereka. Aku sempat mengantar ke taksi yang membawa Gunarto membeli bakpia kesukaan istrinya. Dua jam lagi, dia harus ke bandara.
Aku dan Izon meluncur ke hotel yang lain, makan siang sambil menemui klien lain. Sebelum mobil kuparkir di hotel kedua, telepon berdering.
“Bro, bisa ke Surabaya secepatnya?”
Waduh, aku lagi banyak urusan.
“Kalau bisa nanti malam….”
Apalagi? Pasti menang. Aku sudah baca hasil survei yang dikirim anak buahmu, calon walikotamu bakal menang telak.
“Ibu jadi tersangka.”
Apa?
“Aku tidak bercanda, Bro… Cek whatsapp.”
Telepon kumatikan. Aku cek whatsapp yang penuh gambar dan link berita. Isinya tentang bakal calon walikota yang mendadak menjadi tersangka. Aku segera menelepon beberapa orang. Setelah kupikir jelas aku balik menelepon ke orang yang tadi meneleponku.
Tidak apa-apa. Semua sudah beres. Kapolda dan Kapolri sudah memberikan pernyataan.
“Semoga, Bro…” jawabnya lemas. Seperti capek.
Kamu itu petarung. Masak kayak gitu saja bikin lemas. Panik adalah penyakit orang lemah. Aku lalu menutup telepon.
Izon tampak tersenyum mendengar kalimatku. Mungkin kalimat itu adalah salah satu kalimat yang paling sering dia dengar ketika awal dia bekerja denganku.
Kami menuju ke restoran hotel. Sembari makan, Izon memaparkan apa yang bisa kupertimbangkan untuk pertemuan kami dengan klien selanjutnya.
Tapi mendadak di depanku lewat sosok yang sangat kukenal. Om Tan. Dia duduk makan di dekat kolam renang.
Berapa lama lagi, kita akan rapat? Tanyaku kepada Izon.
“Satu setengah jam lagi, Mas…” ucap Izon setelah melihat jam di gawainya.
Aku bangkit. Berjalan menuju ke arah Om Tan. Dan dia tak tampak terkejut dengan kedatanganku.
Seorang pramusaji datang. Dia membawa nampan. “Yang kopi?”
Om Tan memberi tanda ke arahku. Tentu saja aku terkesiap. Dia tahu akan bertemu denganku, dan dia sudah memesankan minumanku.