Setelah mengantar Om Tan di rumahnya, dan Izon di kantor, aku menuju ke rumah dalam keadaan tubuh menggigil. Suasana sore dengan cahaya perak, tak mengubah apa-apa. Aku hampir terjatuh ketika hendak membuka pintu rumahku. Dan sosok perempuan itu, lagi-lagi menyelamatkanku. Istriku.
Dia menuntunku duduk di sofa. Meraba keningku. Leherku. Tengkukku. “Kamu masuk angin…” katanya.
Aku tak peduli dengan apa yang disebut “masuk angin”, tapi selalu begini keadaannya.
Dia bangkit menjerang air. Ada sedikit kesibukan di dapur. Lalu masuk lagi. Sedikit memapahku, masuk ke dalam kamar. Aku melihat anak laki-lakiku masih tertidur dengan kaos dalam yang robek bagian sampingnya. Pulas dan berkeringat.
Seperti biasa, aku mencopot kaos, lalu istriku memijat bagian punggungku. Melemaskan bagian itu, sesaat sebelum kemudian dengan koin perak andalannya, dia mengerokiku. Srik. Srik. Srik. Dan dia tahu, ada “rumah angin rahasia” yang harus disikatnya di babak akhir. Di belikat.
Jurus “rumah angin rahasia” itu didapat dari keluarganya. Ketika semua bagian punggung yang penting sudah dikeroki, maka ada dua bagian terakhir yang sangat menentukan. Persis di bawah ruas belikat kanan dan kiri. Di situlah, konon, rumah angin bertahta. Kita hanya bisa mengusirnya dengan sempurna kalau semu ruas punggung sudah dikerok dengan sempurna.
Aku bersendawa keras. Kemudian istriku datang lagi sambil membawa secangkir teh panas. “Habiskan, ya…”
Aku kemudian rebah. Tertidur. Letih sekali.
Aku bangun pukul sembilan malam dalam udara malam yang masih juga lengas. Agak terhuyung. Istriku menggandengku duduk di meja makan. Anak laki-lakiku sedang sibuk dengan mobil-mobilannya. Dia segera mendatangiku. “Bapak sedang sakit?”
Aku mengangguk. Dia minta dipangku sebentar. Dipeluk sebentar. Lalu kembali bermain. Pelan aku menandaskan semangkuk sup panas. Badan terasa agak ringan.
“Tidur lagi saja. Kamu kurang tidur…” sambil berkata begitu, istriku kembali menuntunku ke kamar tidur.
“Mau menyalakan ac?”
Aku menggelengkan kepala.
Lampu dimatikan. Pintu ditutup dari luar. Aku sendirian di kamar yang temaram. Lalu kembali tertidur.
Dalam situasi seperti ini, aku tahu apa yang akan terjadi. Aku akan bermimpi aneh, lalu terbangun sesaat sebelum azan Subuh. Dan benar. Itulah yang terjadi.
Aku berada dalam ruangan besar berwarna abu-abu. Dingin. Seperti ketika membuka kulkas.
Semua seperti di film-film Barat. Aku diantar oleh Don dan Izon melewati hurun pasir yang panas. Mobil tua yang disetiri Don masuk ke sebuah area yang mirip penjara. Kemudian aku diturunkan di sana. Turun dari mobil, seperti seorang pesakitan, aku digelandang Rus ke sebuah ruangan untuk menyelesaikan semacam proses administratif. Dan laki-laki yang memprosesku itu adalah Cak Aam. Usai mengisi blangko, aku kembali digelandang oleh Rus dengan tangannya yang kekar. Sesekali tubuhku menyentuh perutnya yang gendut. Lalu aku dimasukkan ke sebuah ruangan berwarna putih. Di situ sudah ada Pak Mathari. Tanpa banyak kata, dia menuntunku masuk ke ruang abu-abu itu.
Kemudian di sinilah aku terpekur. Di ruang abu-abu yang dingin seperti sesaat setelah membuka kulkas.
Bangunan itu tinggi sekali sehingga pandanganku tak bisa melihat batas atapnya, jika memang beratap. Semua dinding penuh laci-laci kecil.
Tidak ada suara. Tidak ada pemberitahuan. Tapi aku merasa tahu bahwa laci-laci itu berisi orang-orang yang mati.
Aku membuka salah satu laci paling bawah, dan melihat bahwa nyawa manusia itu seperti kain yang dilipat. Membuka laci lain lagi, begitu pula keadaannya. Semua nyawa terlipat seperti kain. Sama persis cara melipatnya. Hanya berbeda-beda warna.
Lalu aku memanjat dinding penuh laci, naik, naik… Aku yang takut ketinggian terus memanjat tanpa tahu untuk apa. Naik. Naik. Ke atas. Ke atas lagi. Dan lagi.
Hingga kemudian aku melihat ke bawah, orang-orang masuk. Don, Izon, Rus, Cak Aam, dan Pak Mathari. Semua menengadah. Memintaku turun.
Tapi aku terus naik. Kakiku mulai gemetar. Tanganku mulai gemetar. Salah sat kakiku terpeleset…
Dan aku terbangun.
Diam. Tenggorokanku kering. Sakit. Seperti mau demam. Aku melihat sebotol penuh air putih di dalam kamar. Istriku seakan tahu aku akan bangun tidur dan dahaga. Aku menenggak air di dalam botol itu sampai mau habis. Lalu kembali tercenung.
Rasa sakit di tenggorokanku menghilang. Tubuhku merasa agak segar. Tak lama kemudian aku menuju kamar mandi, kencing banyak sekali. Seperti yang sudah sering terjadi, aku mandi. Dan selama aku mandi itu, aku kencing lagi banyak sekali. Seakan semua mimpi-mimpiku yang ganjil, tersimpan di kandung kemih, lalu aku buang dan bersihkan dengan cara kencing sebanyak-banyaknya.
Usai mandi, azan Subuh bergema. Sekalian aku wudu. Lalu salat sebentar. Membuka pintu kamar satunya lagi, melihat istriku yang tertidur pulas. Mencium keningnya. Melihat anakku yang juga tertidur pulas, mencium keningnya. Aku berdoa sebentar untuk mereka berdua.
Lalu aku kembalu masuk ke kamarku, lebih tepatnya kamar kerjaku. Rumahku mungil adanya. Hanya ada dua kamar. Satu kamar yang agak besar untuk kami bertiga tidur. Satu kamar lagi, kamar kerjaku ini. Dulu, kamar ini adalah kamar anakku. Kamar untuk menyimpan semua mainannya dan peralatannya. Tapi karena istriku kasihan, kamar ini dipermaknya menjadi kamar kerjaku. Buku-buku yang menumpuk di boks plastik besar, dibongkar dan ditata di dalam rak cantik yang didesainnya sendiri. Juga meja kerjaku. Lalu di situ diletakkan ambin kecil. Tempatku menggeletakkan tubuh jika lelah bekerja.
Beberapa orang menyarankanku untuk pindah dari rumah mungil ini. Terlalu sempit sudah. Dan aku dianggap sudah mampu untuk pindah ke rumah yang lebih besar. Tapi aku enggan. Ini cukup sudah. Rumah yang mungil membuatku merasa sangat dekat dengan istri dan anakku. Juga rumah ini, kubeli dengan susah payah. Ada sejarah panjang di rumah ini.
Aku hampir saja membuat kopi, ketika gawaiku berkedip. Sebuah pesan masuk. Dari Om Tan. Mengajakku sarapan di rumahnya.
Aku menyanggupi. Lalu menulis pesan untuk istriku. Menutup pintu dari luar. Masuk ke dalam mobil. Pagi masih temaram. Pagi yang agak segar…
Mobil bergerak pelan. Mendadak aku seperti mengulang mimpiku. Suasananya tiba-tiba mirip ketika aku sedang berangkat diantar oleh Don dan Izon, sebelum memasuki gurun pasir. Sebelum kemudian aku sampai ke ruang abu-abu, dan merangkak naik. Sebelum kedua kaki dan tanganku gemetar…