Rapat kali ini mungkin rapat paling menyita emosiku dalam rentang satu tahun terakhir. Sudah tiga kali pertemuan, selain aku harus berpikir ekstrakeras, menggerus energi, juga mengaduk-aduk perasaanku.
Awalnya seperti kisah sederhana. Sekira enam bulan lalu, seseorang meneleponku. Kami lalu bertemu. Dia, laki-laki sepuh itu menemuiku bersama dengan istrinya dan adik laki-lakinya. Dia mengeluhkan, tiga anaknya berebut harta waris, dan berpotensi besar saling menuntut di pengadilan. Mereka memintaku untuk menengahi sengketa itu.
Dua kali pertemuan awal, sekalipun masing-masing anak ditemani pengacara mereka, tapi negosiasi bukan hanya alot, melainkan menjadi ajang pertengkaran yang serius. Hampir selalu baku hantam. Anak pertama adalah perempuan, seorang dosen. Anak kedua laki-laki, menjadi direktur di sebuah usaha keluarga mereka. Anak ketiga juga menjadi direktur di perusahaan keluarga mereka.
Aku sudah pernah bertemu dengan banyak klien. Tapi hanya klienku inilah yang sejak awal bicara terus-terang: kalau boleh mengulang hidup, dia tidak ingin menjadi orang kaya. Total kekayaannya 70an miliar. Cukup kaya untuk ukuran orang Indonesia.
“Waktu masih kecil,” demikian kata Sang Bapak, “mereka saling menyayangi. Saling menjaga. Bahkan nyaris tak pernah bertengkar.”
Tapi ketika sudah berkeluarga dan punya anak, perselisihan mulai terjadi. Keras. Bahkan, dari dua pertemuan sebelumnya, mereka saling menuduh kalau pihak lain sudah mengirimi santet. Pertengkaran segitiga yang ganjil. Dan jujur saja, menjijikkan.
Sang Ibu adalah wanita sepuh yang aku rasa orang sabar. Dia jarang bicara. Hanya lebih sering diam dan mengangguk. Suaranya tipis dan pelan. Mungkin, dia orang yang paling menderita dalam soal sengketa anak-anaknya. Mungkin airmatanya sudah terkuras habis.
Sementara yang laki-laki, terlihat sisa-sisa petarung hidup yang telah mengalami masa keras. Terlihat dari caranya berpikir dan bicara. Tapi begitu melihat anak-anak mereka bicara saling menuduh dan memaki, tangan laki-laki itu memegang erat tangan istrinya. Mata kedua orang sepuh itu lalu berlinang. Sekalipun tak pernah benar-benar jatuh berderai. Sementara paman mereka, yang selalu memakai baju batik dan berkopiah, juga tak pernah bisa bicara.
Sekali dia bicara. Pelan sekali saat pertemuan kedua, ketika sudah rampung tanpa solusi, “Saya yang ngemong tiga keponakan saya itu. Apakah mungkin saya salah mendidik mereka ya, Mas?”
Sepasang matanya berkedip pelan. Lalu dia berkali mendesah. Oh bukan. Berzikir. Dia rajin sekali berzikir. Mungkin sebagai usaha yang paling bisa dilakukan agar situasi tidak memburuk.
Aku sejujurnya sudah menyerah dengan kasus ini. Dalam hati aku selalu berharap semoga mereka bertiga saling santet lalu mati semua. Kalau saling tuntut di pengadilan, kasihan orang tua mereka. Capek dan sedih.
Pertemuan ketiga ini berlangsung dengan sengit. Aku bersumpah jika suatu saat aku bisa bertemu dengan mereka bertiga di dalam hutan, aku akan beri mereka masing-masing sebilah pisau untuk saling menikam, dan aku bersumpah akan dengan senang hati melihat darah mengucur dari tubuh mereka. Aku tidak bisa melihat darah, mau pingsan kalau melihat banyak darah, tapi aku berjanji akan menonton semua itu dan yakin bakal merasa lega.
Ketiga babi itu, begitu istilahku jika menyebut mereka saat membicarakan kasus itu dengan Izon, pantas mati berbarengan.
Tapi atas dasar profesionalitas, dan sekian trembelek lain sebagai juru damai, tak sepatah kata kasar pun terlontar di mulutku. Tapi setiap kali melihat ketiga babi itu ribut dan memaki, aku selalu ingin menggelandang mereka ke hutan, dan menyuruh mereka saling membunuh agar urusan mereka segera kelar, dan agar aku tak perlu melihat mereka lagi.
Rapat bubar dalam waktu singkat. Cepat. Saling memaki. Berebut teriak dan menggedor meja. Para pengacara mereka saling menengahi. Satu persatu mereka dibawa pergi oleh pengacara masing-masing. Sepi. Tinggal kami berlima.
Dan setelah hening itu, selalu terdengar suara Sang Bapak yang meminta maaf kepadaku. Padahal dia membayarku untuk menghadapi semua itu. Dan selalu kubilang kepadanya bahwa aku tak apa-apa. Padahal aku ingin bilang, cobalah cari saja jagoan hebat yang bisa meremukkan mulut anakmu, supaya mereka tak lagi bisa bicara dan memaki.
Tentu saja kalimat itu tak pernah benar-benar bisa meluncur dari mulutku. Justru yang keluar adalah kalimat-kalimat yang menentramkan ketiga orang itu. Kalimat-kalimat yang justru membuatku selalu bakal terlibat masalah itu.
Forum yang mengerikan itulah yang membuatku terlambat masuk ke salah satu ruang pertemuan di hotel itu, yang dihelat oleh Om Tan.
Ketika aku mengetuk pintu ruang pertemuan itu, pintu langsung terbuka. Aku menganggukkan kepala ke belasan orang yang ada di situ. Mencoba mendengarkan mereka bicara. Tapi butuh waktu.
Karena di kepalaku masih menancap kekesalanku kepada ketiga babi yang berebut warisan itu.
Hingga kemudian kusadari, tema pembicaraan di forum ini menarik sekali. Saking menariknya, segera aku lupa tentang ketiga babi itu.