Di Pasuruan, pernah ada duel remaja yang mau mabuk bersama. Kisahnya agak unik.
Sekelompok remaja berencana mabuk-mabukan. Akhirnya mereka memilih tempat di salah satu rumah kosong. Sesaat sebelum dimulai, salah seorang dari mereka menatap sebuah foto di dinding, lalu dia nyeletuk, “Gak enak, Rek. Ayuk pindah wae. Koyok disawang Mbah Hamid.”
KH Hamid Pasuruan memang tersohor. Fotonya mudah dijumpai di rumah warga.
Mendengar celetukan itu, salah satu anggota yang mau mabuk nyeletuk juga. “Halah gakpopo, wong mek foto ae kok…”
Dari eyel-eyelan semacam itu, mereka berdua kemudian terlibat perkelahian.
Kisah itu tentu saja saya dapatkan dari Gus Baha’. Beliau masih membahas soal jangan pernah menyepelekan dan menghakimi orang awam.
Di Indonesia itu, ungkap Gus Baha’, anggaplah yang beragama Islam 80 persen. Yang benar-benar bukan awam, katakanlah 10 persen (menurut perhitungan saya sih lebih sedikit lagi, karena saya juga memasukkan diri saya sendiri ke mayoritas awam). Jika mayoritas awam ini punya tendensi perilaku keburukan, maka yang 10 persen ini tidak akan merasa hidup nyaman. Yasinan gak tenang. Pergi ke masjid gak pernah aman.
Sekalipun awam, mereka menghormati ulama. Tahu adab terhadap tempat ibadah. “Orang awam yang maksiat, tetap saja lebih rela mencium tangan kiai daripada germo.” kata Gus Baha’.
Membaca dan menceritakan hal seperti ini butuh kesegaran dan kesehatan pikiran. Sebab kalau tidak, dipikir nanti Gus Baha’ merestui pelacuran. Atau tulisan ini mendukung perkelahian orang yang mau mabuk.
Memang lebih enak berinteraksi dengan orang awam yang jujur dan sehat pola pikirnya. Daripada orang yang merasa alim, pas-pasan cara berpikir dan ilmunya, kalau ngomong dan berperilaku ngegas terus.
“Jadi orang khusyuk itu juga yang biasa saja. Belum tentu khusyukmu tanpa pamrih. Apalagi kalau tidak didasari ilmu.”