Saya sudah memperkirakan apa risiko yang akan saya tanggung jika mengajak jalan-jalan Rusli Hariyanto dan Agus Mulyadi. Saya kerap jalan-jalan dengan Rusli, juga sering jalan-jalan dengan Agus. Tapi tak pernah dengan keduanya secara bersamaa. Terlalu berisiko.
Baru saja mobil parkir di dekat Alfamart untuk sekadar membeli bekal air minum, persoalan sudah muncul. Agus yang saya minta membelikan bekal, lari ngacir begitu Rusli menyusulnya.
Kenapa, Gus?
“Bajingan itu Si Rusli, Mas!”
Kenapa?
“Aku pas mau bayar di kasir, uang baru saja kuulungkan, dia masuk sambil bilang, “Duit palsumu sudah dipisahkan dari dompet, Gus?”, lha Mbak-yang-jaga-kasir yang awalnya sudah lirik-lirikan sama aku, langsung mukanya merah, uangku diperiksa dengan teliti berkali-kali. Bajingan betul itu Rusli.”
Saya tertawa ngekek. Dan benar, sepanjang jalan mobil penuh dengan canda tawa terutama dengan logika-logika gendeng Rusli. Misalnya dia bilang, “Mas, kok teman-temanku sudah maju semua, tapi aku tetap gini-gini saja ya…”
Misalnya siapa, dan bagaimana, Rus?
“Ya misalnya Nuran, Yandri, apalagi Dhani. Kalau dari sisi kemampuan intelektual kan mereka ya gak lebih bagus dari aku to, Mas? Apa sih hebatnya Dhani? Kalau cuma bikin buku kayak gitu, aku juga bisa.”
Kamu sudah baca bukunya Dhani?
“Belum sih, Mas. Tapi kan sudah bisa kuukur kualitasnya…”
Oooh… Saya hanya bisa kukur-kukur gundul, san Agus kukur-kukur giginya.
Tapi bukan itu yang mengejutkan. Kurang dari limabelas menit kemudian dia bilang lagi, “Tapi kalau dipikir-pikir, aku ini lebih hebat dari teman-teman sebayaku, Mas…”
Gimana itu, Rus?
“Lha bagaimanapun juga kan Dhani, Nuran, atau Yandri, itu kan buruh. Sementara aku kan pengusaha.”
Tentu saja saya cuma cepkelakep.
Lima jam lebih kami menjelajah pegunungan Menoreh. Asyik memang. Tapi kadang deg-degan juga. Jalanan yang cukup menanjak, sering membuat kami harus lebih bernyali kalau berpapasan dengan mobil. Dan benar, ada mobil ngebut dari bawah, tanjakan cukup curam, sementara kami dari atas. Mobil tersebut terpaksa berhenti di sebuah ruas jalan yang agak lapang agar kami bisa bersimpangan. Karena berhenti, mobil itu macet dan berpotensi melorot. Penumpangnya sudah tua. Seorang bapak-bapak. Di belakangnya persis, dua sepeda motor juga berhenti dalam posisi yang tak cukup bagus. Kalau tidak segera melaju, dua sepeda motor itu bisa kena risiko dihajar mobil macet itu.
Di saat seperti itulah, Rusli dan Agus cukup cekatan. Mereka berdua, bersama Yoga (sahabat Rusli yang tinggal di Menoreh), langsung melompat, berlari, dan menolong mobil tersebut. Bolehlah…
Tapi hati-hati kalau makan sama Rusli. Sebab kemampuan verbalnya di atas rata-rata. Tibalah kami makan siang. Selain makan nasi beras, ada juga nasi jagung kesukaan saya. Rusli bermaksud bilang, kok nasi jagung di daerah ini berbeda dengan nasi jagung di daerahnya? Sementara yang keluar dari mulutnya, “Nasi jagung apa ini?”
Dan yang punya warung persis sedang di belakangnya, membawa senampan kopi dan camilan. Kepala saya langsung cenut-cenut…
Pemberhentian terakhir kami tentu saja di Suroloyo. Kebetulan ada serombongan muda-mudi, mungkin sedang pacaran. Ketika rombongan tersebut pergi, sepasang dari mereka balik. Ternyata syal Si Cewek tersebut tertinggal. Dia lalu mengambil, dan cowoknya masih di atas sepeda motor. Agus menggoda cewek itu. Rusli langsung teriak, “Kamu nggoda cewek kok ya pas ada anjingnya to, Gus!”
Tentu saja Si Cowok mendengar. Wah, persoalan ini… Dengan kemampuan yang masih tersisa, saya mencoba mencairkan situasi. Begitu mereka berdua pergi, kami bertiga langsung serempak bilang, “Bajingan kowe, Rus!”
Dan Rusli tidak tahu apa kesalahannya…