“Sesungguhnya semua hal adalah informasi. Tapi sebagian dari kita tidak punya cara dan kesiapan untuk menerimanya.”
Pesan itu muncul ketika aku baru saja usai menyemprotkan parfum di bajuku. Kemudian muncul pesan lagi lewat gawaiku, “Aku pikir nanti ada banyak informasi yang akan kamu dapatkan. Seraplah sebaik mungkin. Dan yang paling penting adalah mengerjakannya. Percuma kita bisa menyerap dan mencerna informasi tapi malas mengerjakannya. Sebagian dari kita memang teramat malas mengerjakan tugas-tugas kehidupan. Malas mengerjakan panggilan-panggilan nurani. Hanya rajin kalau yang memangil nafsu. Seakan hanya itu saja penggerak hidup ini.”
Mobil bergerak pelan. Membelah Yogya yang bukan hanya sedang terik tapi juga macet.
Alamat itu mudah saja aku cari. Sebuah jalan dengan nama burung, sebuah gang dengan nama burung. Tapi gang itu terlalu sempit untuk dimasuki mobil, terpaksa parkir di tepi jalan, di depan sebuah bangunan sekolah dasar yang mengingatkanku pada sekolah dasar tempatku sekolah dulu.
Aku sempat salah memijit tombol. Seorang perempuan yang baru menyiram tanaman langsung membuka pintu dan memberitahu, rumah sebelah yang kucari.
Aku duduk di sebuah ruangan yang sederhana, kursi tiga buah mengepung sebuah meja bundar. Tumpukan koran terlihat rapi. Sebuah lukisan tertenpel: seorang kakek dalam busana Jawa sedang memangku anak kecil yang sedang menangis.
Tiba-tiba aku teringat anakku dan istriku yang sedang dalam perjalanan dari Kudus menuju ke Yogya. Terakhir kutelepon masih sampai Magelang. Tiga puluh menit lalu. Mungkin sekarang sampai Muntilan.
Laki-laki ramping itu keluar dengan senyum yang ramah. Kami berbagi kabar sebentar. Tidak lama kemudian dia masuk ke dalam rumah, lalu keluar lagi dengan membawa kopi dan ketela goreng.
“Mangsari.” jawabnya memastikan.
Aku memastikan lagi nama daerah itu. Dia membetulkan. Bukan Talang Sari dan bukan Nawang Sari. Mangsari.
“Saya sudah ke sana dua kali. Ada puluhan hektar situs bersejarah yang mangkrak di atas area kebun kopi.”
Aku mencatat dalam hati.
“Jadi rasanya ada yang agak ganjil karena di daerah utara VOC sedang dalam mengislamkan daerah itu, sementara di daerah selatan, masih seperti prasejarah.”
Bagi kebanyakan orang, Belanda atau VOC atau Kolonial, identik dengan pengristenan. Tapi kalau sejarah di baca baik-baik, di beberapa daerah terjadi proses pengislaman oleh VOC.
“Sayang banyak orang kita yang tidak membaca sejarah dengan baik.”
Ketela di tangannya tak habis-habis.
“Daerah itu sejak zaman Kolonial penuh dengan stigma. Belanda harus mengislamkan karena perlawanan terus berkobar. Sementara di zaman Orde Lama, daerah itu dicap sebagai sarang orang Kiri. Apalagu zaman Orba. Pembantaian orang kiri banyak sekali. Termasuk pencipta lagu Genjer-genjer. Kemudian ketika Orde Reformasi dapat stigma lagi sebagai pusat santet.”
Hindu. Pengislaman. Kiri. Santet.
Dia juga menceritakan tentang bagaimana wilayah-wilayah yang mestinya segera ditetapkan menjadi cagar budaya tak juga dapat ketetapan itu.
“Marak sekali pencurian menhir.” Kuburan-kuburan tua dibongkar. Perhiasan-perhiasan diambil. Batu-batu antik diangkut ke Bali.”
Kuburan. Batu. Bali.
Kemudian dia bercerita sedikit tentang mafia benda antik di Indonesia. Siapa saja pemainnya, bagaimana cara beroperasinya.
Orangnya masih muda. Mungkin 5 tahun di atasku. Tapi dia sedikit dari orang yang ahli dalam bidang paleografi di Indonesia. Sebagian sejarah kita tertumpuk di Belanda, dan untuk membantu mendirikan bangunan sejarah itu, salah satu tiang yang harus dipancangkan adalah membaca dokumen-dokumen tersebut. Tapi dokumen-dokumen itu tidak mudah dibaca sebab menggunakan bahasa Belanda kuno.
Sebagian sejarah kita bertumpu pada kredibilitas dan keterampilan para paleograf. Laki-laki di depanku ini adalah sedikit orang yang menguasainya.
“Nanti saya kabari kalau saya ke sana. Tapi jangan kaget, saya kalau di lapangan menginap di rumah warga. Di para petani kopi itu.”
Saya akan ke sana, batinku. Terimakasih, ucapku.
Begitu usai azan Magrib, aku pamitan. Aku pikir sudah kudapat sejumlah catatan. Mungkin itu yang dimaksud sahabatku.
“Jangan banyak berpikir. Segera saja ke Timur.”
Pesan itu kudapat ketika aku baru saja menutup pintu mobil.
Aku diam sejenak. Tak segera menyalakan mesin. Ke Timur? Segera? Tiba-tiba aku teringat Rus, laki-laki gembul yang minum baygon celup. Bukankah dia suka berpergian dan nyetir mobil? Dan dia tahu banyak daerah di Timur.
Aku segera mengirim pesan kepadanya. Langsung berbalas: Siap menemani melawat ke Timur.
Aku sedikit lega. Mobil bergerak. Aku makan sebentar di sate Samirono karena seharian belum makan. Membungkus satu porsi untuk istriku.
Tiba di rumah, baru menjelang pukul 20.00. Rumahku sepi. Tidak mungkin istri dan anakku terlelap di jam seperti ini. Dia juga tidak mungkin pergi. Mobilnya ada di garasi.
Hatiku berdebar. Semua kisah sebelumnya berkecamuk. Pintu rumah kubuka. Tak ada siapa-siapa. Pintu kamar sedikit terbuka. Dengan hati waswas aku membukanya.
“Baaaaaaaaaa!”
Aku mau pingsan saking kagetnya.
Kedua orang kesayanganku langsung mengerubutiku. Mereka merangkulku dan menciumiku sambil tertawa puas karena telah berhasil mengagetkanku.
Plong sekali rasanya. Lega luar biasa. Tapi pikiranku tetap tak pernah lepas dari semua informasi yang barusan kudapat. Ah, pusing amat. Saatnya bergembira bersama keluarga.