El Shaarawy tak pernah menjadi harapan baru bagi AS Roma. Cerdik, lincah, dan cepat, tapi sekaligus orang yang pernah terpuruk dan kecewa. Sepakbola sebagaimana hidup ini. Para bintang sepakbola bukanlah mereka yang terus-menerus bersinar, melainkan juga pernah nyungsep dan nyaris putus asa.
El Shaa masih muda usia ketika bertabur puja Milanista. Tapi sebagaimana orang yang disambut besar, maka dia punya potensi dilempar dengan brutal. Itu hukum kehidupan. Kinclong di Milan, bahkan mencatatkan namanya sebagai salah satu pencetak gol di Liga Champion pada umur kurang dari 20 tahun. Pemuda berayah Mesir dengan ibu dari Italia ini kemudian kerap dibekap cedera dan tampil tak begitu mempesona. Sang Firaun Kecil akhirnya dibuang ke AS Monaco.
Di kesebelasan barunya itu, El Shaa tampil mengenaskan. Dia bahkan lebih dianggap sebagai beban daripada sebagai bintang. Saya kira hampir semua pengamat sepakbola yakin, El Shaa akan menyusul ratusan pemain muda yang cemerlang di usia masih remaja, tapi kemudian akan menuju ke pemain yang bukan apa-apa. Kariernya nyaris habis di usia yang baru jalan 23 tahun. Lampu panggung El Shaa meredup. Hampir padam.
Tapi entah mimpi apa El Shaa hingga kemudian AS Roma berkeinginan untuk meminjam dari Milan dengan opsi dibeli jika bermain bagus. Hengkanglah si jabrik ini dari Monaco ke Roma. Tapi publik Roma menyambut sepi pembelian ini. Fans Roma mungkin juga berpikir sebagaimana kebanyakan para pemikir sepakbola: El Shaa hanya akan parkir sebentar di Roma. Dia sudah bukan siapa-siapa lagi.
Tapi hal itu tidak pernah sama bagi El Shaa dan Roma. Laki-laki yang dibesarkan oleh klub Genoa itu yakin bahwa kariernya belum habis. Dia masih sangat muda dan hanya butuh diberi kesempatan. Dia yakin bahwa dirinya masih salah satu pemain terbaik di Italia, dan berhak masuk ke Timnas. Berhak mencium banyak tropi dan medali.
Sementara klub Serigala Ibukota juga berharap dengan masuknya El Shaa, terjadi perubahan penting di lini depan. Klub yang masuk dalam kandidat Scudetto ini sedang tersengal. Cuma nangkring di rangking 7 dengan bekal kemasukan gol yang parah.
Tapi semua orang sepertinya paham, tak akan ada drama di AS Roma. Setelah tertatih di papan atas pertarungan kandidat Scudetto, AS Roma tak lebih dari tim medioker lain: bermain tanpa visi, kehilangan kreativitas, monoton, dan nihil terobosan strategi. Terlebih ketika klub ini menjual Gervinho dan Iturbe. Dua pemain depan yang kerap dipercaya sebagai pemain cepat yang sering memberikan terobosan-terobosan baru.
Tak ada drama di AS Roma. Demikian para pengamat sepakbola menandang dengan muka kasihan ketika akhirnya pelatih flamboyan itu mengemas kopernya. Garcia, laki-laki Perancis itu pergi dengan muka murung. Dan gantinya, bukan orang yang menjanjikan: Spalletti. Pelatih ini memang dikenang karena selalu punya hubungan baik dengan para pemain Roma, tapi dia juga diingat sebagai pelatih yang memalukan ketika Roma dihajar 7-1 oleh MU.
Spalletti tak bisa menghibur Romanisti. Roma terpuruk. Menjual para pemain hebat, membeli para pemain biasa, mengusir pelatih yang gagal, dan mendatangkan pelatih yang semenjana.
Sebagai hiburan pun, AS Roma telah gagal. Apalagi ketika di dua permainan awal Roma ketika dibesut Spalletti, tim serigala hanya bisa bermain imbang sekali dan kalah sekali.
Hingga saatnya El Shaa tiba. Semua orang tak mengira El Shaa bakal mengguncang. Tapi kenyataannya, di panggung hijau yang penuh keringat itu, para fans Roma seperti melihat Fir”aun Kecil yang tumbuh lebih gesit dari yang pernah mereka lihat saat dia main di Milan. Bahkan mulut para fans terpaksa menganga lebar ketika El Shaa memasukkan gol dengan tumitnya. Kecerdikannya begitu memukau. Dua kali dimainkan, El Shaa membuat dua gol.
Kini sebagian besar fans Roma percaya bahwa ada drama di Roma. Drama itu punya pemeran utama bernama El Shaa. Pemain muda yang punya segalanya, dan disempurnakan oleh putus asa, luka, dan rasa kecewa.
Kamu bisa sampai di mana, El Shaa? Seperti kamu, kami pun sudah sering kecewa.