Saya mengenal nama Puthut EA kira-kira lima belas tahun silam. Saat itu saya adalah remaja ingusan yang sedang bosan sekolah. Kebencian saya kepada sekolah semakin menjadi-jadi usai membaca buku-buku pendidikan kritis, salah satunya adalah “Sekolah itu Candu” yang ditulis oleh Roem Topatimasang.
Sejak saat itu saya rajin sekali membolos.
Beberapa tempat menjadi tujuan pelarian dari pengap ruang kelas. Di antaranya adalah Taman Budaya dan ISI Solo. Saya senang sekali melihat para sastrawan yang nyentrik- nyentrik itu berdebat atau membedah buku. Saya juga senang melihat pemutaran filem atau pementasan lakon di Teater Kecil walaupun tak sepenuh maksudnya saya pahami.
Tapi tempat ngeblong paling favorit justru ada di bilangan perkantoran sederhana di Kentingan, seberang pintu gerbang ISI Solo yang megah. Tempat di mana truk- truk antarkota numpang parkir. Di sana terdapat sebuah kedai buku mungil yang bernama gagah: bumimanusia dengan “b” kecil.
Kedai buku ini seingat saya dikelola secara kolektif oleh lulusan-lulusan UNS. Ada sekitar tiga atau empat orang tak bisa lagi saya ingat. Salah satunya adalah Nurul Khawari. Pria inilah yang kemudian mengenalkan saya pada buku-buku yang aduhai untuk ukuran anak SMA. Buku-buku yang tidak bisa saya dapatkan dengan mudah di perpustakaan sekolah. Mulai dari Edward Said hingga Arundhati Roy, mulai dari Wiji Thukul hingga Kuntowijoyo. Ia jugalah yang rutin memberi saya eksemplar gratis jurnal ON/OFF yang diterbitkan oleh AKY. Dari jurnal inilah saya mulai mengenal nama Puthut EA. Melalui ON/OFF pula saya berkenalan dengan jurnal Wacana, pemikiran- pemikiran Mansour Fakih, berikut Insist dan jejaringnya. Tapi ingatan saya paling kuat tentang Puthut EA pada saat itu bukan dari buku atau prosa yang ia tulis, namun justru datang dari sebuah poster selebar A2 berwarna kuning tua. Suatu siang, dalam perjalanan ke bumimanusia, poster ini sudah tertempel di mana-mana. Termasuk di muka pintu bumimanusia.
Poster tersebut memiliki visual yang ganjil: sebuah ponsel Nokia 5210 memiliki sepasang kaki yang terlihat berlari. Judul “Orang-Orang yang Bergegas” ditulis dalam jenis huruf khas awal milenium. Entah siapa yang merancang grafisnya. Dalam poster itu nama Puthut EA tertulis sebagai penulis naskah. Sebegitu menariknya poster tersebut, saya pun meluangkan waktu untuk menonton pentasnya.
perjumpaan berikutnya dengan nama Puthut EA terjadi ketika saya terdaftar menjadi mahasiswa di Surabaya. Lagi- lagi saat itu saya sedang bosan kuliah dan lebih suka meng- gelandang. Mengunjungi tempat-tempat yang jauh dengan dana cekak. Kegemaran saya atas bacaan pun bergeser ke- pada tema-tema yang ringan, seperti kumpulan esai atau feature perjalanan. Saya mulai menggemari Sindhunata, Mochtar Lubis, Pico Iyer, dan Paul Theroux.
Saya pun bergabung dengan beberapa milis perjalanan yang kemudian memperkenalkan saya pada Sigit Susanto. Ia adalah sosok yang sering membagikan kisah perjalanannya dalam format tulisan panjang dan seringkali ditimpali pendek-pendek oleh anggota milis lainnya. Di milis yang lain, Sigit Susanto juga sempat melakukan workshop menulis perjalanan bercorak naratif. Gaya dan pendekatannya dalam melakukan perjalanan menurut saya tidak umum, karena ia melakukan perjalanan berdasarkan karya-karya sastra yang ia sukai. Tidak banyak pejalan di Indonesia yang melakukan itu.
Maka kemudian ketika Sigit Susanto menerbitkan buku “Menyusuri Lorong-Lorong Dunia” saya segera memburunya.
Di buku tersebut sekali lagi saya menemukan nama Puthut EA. saya baru benar-benar bertemu Puthut EA karena jasa seorang kawan karib bernama Nuran Wibisono. Sebelumnya, Nuran pernah bercerita bahwa di sela-sela menyelesaikan kuliah masternya ia juga sedang giat membantu Mas Puthut untuk mengerjakan beberapa proyek penulisan buku. Tak lama berselang, Nuran kemudian mengontak saya untuk bergabung dalam sebuah proyek penelitian pariwisata dan city branding yang dikerjakan oleh KBEA.
Bekerja di bawah seorang Puthut EA, membuat saya merasa grogi pada awalnya. Blio memiliki nama yang sudah saya lihat di mana-mana jauh sebelum kami bertemu. Tetapi begitu proses berjalan, saya mulai merasa nyaman. Melalui perkenalan yang tidak begitu lama, saya mulai membangun pemahaman bahwa seorang Puthut EA adalah persona yang bisa menempatkan diri dengan baik di berbagai lingkungan yang dihadapinya. Ia bisa menjadi seorang pemimpin proyek yang tegas, negosiator yang licin, ahli strategi yang jitu, organisator yang rapi, sekaligus juga bisa menjadi penulis yang produktif, bapak yang menyayangi Kali, kakak yang berpengalaman, hingga rekan mengobrol yang asyik.
Melalui kisah dan kesaksian orang-orang di sekitarnya, saya pun bisa mendapatkan gambaran mengenai Puthut EA secara lebih menyeluruh: masa mudanya penuh petualangan, tenggelam dalam aktivisme dan mencoba hidup di bibir tegangan, serta kisah-kisah lain yang tidak pernah dituliskan.
Saya belajar banyak darinya. Meski belum cukup banyak. Kalau saya punya kekuatan magis ala Voldemort, ingin sekali saya nyucup ubun-ubun blio, menyedot semua saripati pengetahuan dari pengalaman-pengalamannya. Termasuk juga menyeruput keampuhan dan kemahirannya menulis.
Tapi apa daya, saya tidak memiliki kanuragan semacam itu. Saya hanya bisa belajar melalui tulisan-tulisan pen- deknya di Facebook (blio pernah menulis tentang filosofi pangupo jiwo yang terus saya ingat), melalui perjumpaan- perjumpaan yang sempit, dan berbagai sesi obrolan yang menyenangkan. Beberapa peristiwa dengan blio bahkan meninggalkan kesan yang cukup membekas. Seperti saat blio iseng mengajak saya pergi ke puncak Borobudur untuk melihat matahari terbit atau membuyarkan sebagian agendanya di tengah kaldera Bromo. Saat-saat itulah blio menjelma menjadi kakak yang baik buat saya.
Gambaran terakhir tentang Puthut EA yang bisa saya ingat terjadi di tengah perkebunan kopi yang senyap di Banaran. Malam itu, selepas maghrib, ia mengumpulkan orang-orang terdekatnya. Wajah Mas Puthut terlihat bersih, mungkin sehabis disapu air wudhu. Di tengah ruangan dengan lampu setengah redup yang menggantung tinggi di langit-langit, blio duduk di sebuah kursi kayu dengan lengan yang menjuntai pada sandaran tangan. Sesekali ia menyesap kreteknya dalam-dalam. Tampak seperti figur Don Corleone. Jauh lebih tua dari seorang Puthut EA yang pernah saya kenal. Raut wajahnya nampak letih namun ketara lebih bijaksana.
Pada momen itu, saya mendengar rencana-rencananya untuk madeg pandito, lebih banyak meluangkan waktu untuk dirinya sendiri atau kerja-kerja sosial.
Bagi saya itu adalah keputusan yang menarik dan barangkali yang terbaik dari seorang Puthut EA. Pada zaman yang karut marut seperti saat ini, ketika orang-orang bergegas, melaju dalam kecepatan yang ekstatik, tidak banyak orang yang mengenal arti kata berhenti. Pada titik itulah sebenarnya menarik keputusan untuk berhenti menjadi sebuah kemewahan yang belum tentu bisa dicapai banyak orang.
Rahayu, Mas!