Sebelum ada saran ketiga, saya memutuskan untuk memenuhi saran dua kawan saya yang memberikan tautan berita dari CNN Indonesia. Di sana tercantum foto berisi nama saya sebagai bagian dari peserta yang hendak diberangkatkan ke Frankfurt Book Fair 2105.
Mungkin sebulan lalu, saya memang menerima undangan dari panitia, yang jika saya ringkas dalam satu kalimat berbunyi seperti ini: Anda masuk dalam radar panitia untuk diberangkatkan ke Frankfurt Book Fair, tunggu kabar dari kami. Sekira dua minggu kemudian, saya dihubungi oleh panitia via telepon. Jelas di situ saya diminta untuk bergabung ke dalam rombongan. Saya bertanya, kenapa saya diajak? Salah satu jawabannya adalah saya dianggap punya kontribusi dalam perkembangan kesadaran membaca untuk publik.
Di situ saya ragu, dan saya menyatakan bahwa saya tidak merasa punya andil seperti itu. Usut punya usut ternyata saya dianggap bagian dari Komunitas Radio Buku. Tentu saja saya menepis, kemudian memberikan nomor telepon saudara Faiz Ahsoul yang setahu saya aktif di komunitas Radio Buku. Panitia yang menelepon meminta waktu untuk “menjernihkan” soal itu ke (mungkin) forum panitia. Dia kemudian mengabari bahwa memang yang paling Radio Buku. Bukan saya. Jadi mungkin foto dokumen itu adalah dokumen belum direvisi oleh panitia.
Di tengah beda pendapat soal penyelenggaraan pameran buku tersebut, yang sesekali melintas di kepala saya malah betapa apesnya orang yang menjadi panitia. Kalau soal di debat, apa sih yang tidak menjadi bahan perdebatan di Indonesia? Kalau tidak terjadi perdebatan justru aneh. Dan perdebatan itu baik.
Kenapa panitia apes, karena saya pernah bekerjasama dengan beberapa kementerian di era rezim SBY. Saya akhirnya mengampil keputusan kapok bekerjasama dengan lembaga Pemerintah. Dana sih pasti turun. Tapi tidak sesuai dengan logika kerja. Saya membayangkan bagaimana panitia harus bermain antara logika kerja dan alur penyelenggaraan vs nalar tahun pembukuan dan birokrasi yang lemot.
Saya sudah membayangkan panitia akan ngutang uang dalam jumlah besar. Ketika acara rampung, uang baru turun. Itu pun sedikit demi sedikit. Saya berharap rezim Jokowi tidak seperti itu.
Kalau soal kenapa saya tidak ikut ambil suara soal Frankfurt Book Fair, karena memang setiap orang punya interes masing-masing dan berhak punya sudut pandang lain. Dalam konteks ini, panitia dan pengkritik setidaknya bersepakat bahwa Frankfurt Book Fair itu penting. Maka yang satu mengkritik karena ini urusan negara. Bukan urusan orang per orang. Sementara panitia adalah representasi Pemerintah.
Sedangkan saya mencoba berpijak, saya bosan bangsa ini dirumuskan dan didefinisikan oleh pihak lain. Termasuk mengikuti imajinasi pihak lain. Selagi saya mampu, saya akan coba ambil cara pandang itu.
Jauh hari sebelum gugon tuhon soal betapa “bodoh”-nya bangsa kita, toh kitab-kitab hasil karya para sesepuh kita sudah diajarkan di universitas-universitas besar di luar. Ulama-ulama kita disegani karena buah pemikiran mereka yang luar biasa. Sampai sekarang, hal itu masih jelas bisa dilihat.
Jika hal seperti itu tidak dilihat, kita tetap merasa penting untuk mengikuti alur tetapan pihak lain, maka saya selalu ada di luar itu. Demikian.