Selama hampir 3 tahun, semenjak kelas 1 sampai menjelang lulus SMP, Surtinah menjadi pencopet. Dia bergabung dengan kelompok copet yang dipimpin bapaknya sendiri.
Karena bapaknya tahu kalau Surtinah masih mungkin punya masa depan yang lebih baik, maka hanya diperbolehkan mencopet di hari-hari tertentu saja, yaitu Sabtu malam dan hari Minggu. Semenjak itu, perempuan berambut berambut tebal dan panjang itu sering berada di antara rombongan pencopet yang terdiri dari 5 laki-laki, di atas bis jurusan Yogya-Solo.
Awalnya, Surtinah hanya mendapatkan tugas-tugas ringan seperti misalnya, baik dengan tas yang dicangklongnya atau badannya, menghalang-halangi pandangan orang yang sekira berani melawan jika melihat ada peristiwa pencopetan. Atau sengaja menjatuhkan dirinya di lantai bis, atau ke pangkuan orang untuk membuat calon-calon korban lengah. Karena otaknya yang cemerlang, hanya setahun setelah bergabung dengan tim copet tersebut, remaja belia itu sudah menempati posisi penting: menentukan siapa korban-korban yang akan dicopet.
Tapi malang tak dapat ditentang. Seminggu sebelum Ebtanas, rombongan pencopet itu tertangkap di daerah Klaten. Hanya seorang anggota saja yang berhasil kabur. Di depan perwira polisi bernama Hariyanto itulah, bapak Surtinah memohon agar anaknya dilepaskan. Justru dari kejadian itu pula, jalan hidup Surtinah berubah. Dia diangkat anak oleh Hariyanto. Dan selepas lulus SMP, Surtinah diboyong ke Jakarta, menjadi anak kesayangan Nyonya Hariyanto yang berputra satu hidup di luar negeri.
Sehari-hari, dua perempuan itu selalu bersama, hingga kemudian Nyonya Hariyanto memutuskan untuk membuka usaha katering. Surtinah pun terlibat di usaha itu, dan nyaris menjadi pengendali bisnis tersebut dalam usia yang masih muda.
Dari interaksinya dengan dunia luar itulah, Surtinah mempelajari keanehan-keanehan orang Jakarta. Banyak orang kaya yang justru memilih makanan tak enak, dan itu disebut sebagai “diet”. Mereka punya mobil mewah tapi memilih ke kantor dengan naik sepeda. Sementara di kampungnya, Surtinah ingat, kakak laki-lakinya rela jadi pencopet dan keluar dari STM hanya karena ingin punya sepeda motor. Banyak orang berolahraga semacam senam tapi membayar mahal. Kalau mereka memancing ikan, dilepaskan lagi. Semua itu direkam dalam diri Surtinah sembari ikut mengembangkan bisnis ibu tirinya.
Tepat sehari sebelum Hariyanto pensiun, seminggu sebelum Surtinah diwisuda menjadi sarjana ekonomi, berembuklah ketiga anggota keluarga itu. Intinya, Surtinah ingin membuka bisnis sendiri.
Ketika ditanya mau bisnis apa, dengan mantap Surtinah menjawab, setelah mengamati polah-tingkah orang Jakarta, berikut keanehan dan hobi mereka, maka dia mantap membuka bisnis “Kursus Mencopet”. Hariyanto dan istrinya nyaris menolak, tapi setelah mendengar paparan Surtinah, mereka bisa mengerti.
Semenjak itulah, berbagai iklan di media sosial muncul dengan dua kalimat sederhana: “Dibuka kursus mencopet tingkat dasar. Dilatih oleh seorang perempuan yang 3 tahun berpengalaman menjadi copet.”
Seperti dugaan Surtinah, lembaga kursusnya maju pesat. Sampai dia harus meminta bantuan kakak laki-lakinya dan bapaknya ketika membuka 2 cabang sekaligus. Dan dalam waktu kurang dari lima tahun, mencopet menjadi gaya hidup orang Jakarta, mengalahkan yoga dan lari maraton.
Memasuki tahun kelima, sudah puluhan lembaga kursus mencopet berdiri. Tidak semua milik Surtinah. Para pencopet yang kehilangan pekerjaan karena moda transportasi yang makin maju dan mekanis, kini mereka bisa bekerja lagi menjadi instruktur mencopet. Berbagai kompetisi mencopet diadakan di berbagai mal dan ruas jalan tertentu.
Kini, obrolan tentang berbagai teknik mencopet lanyah dibicarakan oleh para eksekutif muda Jakarta, sebagaimana mereka lancar bicara soal citarasa kopi, gerakan-gerakan yoga, dan kandungan gizi berbagai jenis makanan.
Di kantornya yang megah, Surtinah, beserta bapak dan kakak laki-lakinya, sibuk menghitung uang mereka. Dan mereka mulai berkonsultasi dengan Hariyanto dan Nyonya Hariyanto untuk membuka kursus baru: “kursus mencuri klasik”, yaitu mencuri yang mengandalkan ketrampilan mendongkel jendela, membuka pagar, dan merapal mantra agar calon korban bisa tidur pulas.
Hariyanto dan Nyonya Hariyanto setuju. Menurut mereka berdua, gagasan Surtinah kali ini sama cerdasnya ketika dia mau membuka kursus mencopet. Mereka berdua tahu, orang Jakarta akan tergila-gila dengan ketrampilan itu, dan mencuri akan segera menjadi gaya hidup baru.
#BelajarMenulisCerpen