Seorang murid yang hampir lulus dari sebuah padepokan, mendatangi sang guru. Dia meminta izin bertanya tentang sesuatu yang dia pikir sangat penting untuk ditanyakan, dan berbulan-bulan sudah menghantui pikirannya.
Sang Guru mempersilakan…
“Guru, ada dua alumni padepokan ini yang selalu jadi panutan para murid selama ini. Pertama adalah Poniran, kedua adalah Paimin.
“Keduanya nyaris bertolak belakang. Poniran kaya raya. Rumahnya besar dan mewah. Kendaraannya banyak. Bisnisnya ada di mana-mana. Sementara itu Paimin sangat bersahaja. Rumahnya kecil. Bajunya itu-itu saja. Nyaris tak punya apa-apa.
“Bagi kami, murid-murid Panjenengan, siapa yang mesti kami contoh?”
Sebelum menjawab, Sang Guru mempersilakan murid kinasihnya itu untuk minum. Setelah Sang Murid minum, Sang Guru berkata…
“Begini, Nak… Menurutku, persoalannya bukan kaya atau miskin. Persoalan utamanya ada pada hati. Poniran memilih laku menjadi orang kaya, bukan untuk kemewahan dirinya. Dia sadar dikaruniai Allah kemampuan mencaro rezeki, dan dari situ menjadi perantara rezeki Allah kepada banyak orang.
Orang seperti Poniran jika malah memilih menjadi orang biasa dan miskin, bisa punya persoalan. Dia harus mempertanggungjawabkan kemampuannya yang telah disia-siakan itu. Padahal dengan rezeki yang baik, dia bisa menggaji orang-orang baik, bisa menyentausakan umat. Orang yang sejahtera, bisa menjadi benteng kedaulatan kebaikan…”
Sang Murid mengangguk-angguk. Mengerti…
“Lalu Paimin,” lanjut Sang Guru, “orang sepertinya memang dikaruniai hati yang penuh rasa hati-hati. Dia tahu benar, kekayaan akan membuat panjang waktu hisabnya. Semua kekayaan, sekecil apapun, akan dipertanggungjawabkan. Dia tidak mau berurusan panjang dengan Allah soal itu. Maka dia memilih jalur kesederhanaan hidup.
“Harta juga punya potensi membebani hati. Ada rasa khawatir. Syak wasangka. Mudah curiga. Paimin tidak mau punya perasaan yang mengotori hatinya. Dalam kesederhanaan hidupnya itu, dia berada di puncak ketenang dan kedamaian. Apalagi yang harus dicari dalam hidup ini, jika kita sudah bisa menggapai itu?”
Mendengar sesorah pendek itu, Sang Murid mengangguk lagi. Mengerti.
“Jadi, persoalannya bukan di kaya atau miskin. Tapi di hati. Bukan mana yang harus kalian contoh. Tapi melatih hati kalian agar bisa seperti Poniran dan Paimin. Sebab kaya kalau ujub, egois, lalu merendahkan orang lain, itu jalan hidup yang buruk…
“Demikian pula kalau bersahaja tapi hatinya penuh hasud alias dengki, memelihara rasa tamak, penuh kebencian pada apa yang tampak lebih baik darinya, pada hati seperti itu senantiasa ada unggun yang membakar habis kedamaian hidupnya.”
Lagi-lagi, Sang Murid menganggukkan kepala.
“Jadi kamu memilih mana, Nak?”
Sang Murid tersenyum. “Untuk sementara saya golput, Guru.”
Sang Guru mengernyitkan wajahnya. Buru-buru Sang Murid meneruskan kalimatnya, “Maksud saya, saya belum bisa memilih yang mana, Guru. Saya akan melatih hati saya dulu…”
Sang Guru tersenyum lebar. Sang Murid pamit.