Saya belum bisa memberi kesimpulan tentang guyon-waton ini. Konon orang Yogya ramah tapi pendendam. Hal tersebut bisa dilihat dari bentuk blangkon khas Yogya yang mbendhol mburi. Alasan saya untuk tidak mempercayai itu adalah karena saya sendiri merasa bahwa saya pun pendendam, padahal saya bukan asli Yogya. Dan saya banyak mendapati beberapa teman saya yang pendendam pun bukan berasal dari Yogya. Sementara, satu dua teman saya yang dari Yogya justru termasuk bukan pendendam.
Tapi ada satu hal yang selalu saya ingat kembali jika saya keluar jalan-jalan di Yogya, terutama kalau lewat jalan-jalan kampung: gundukan. Di jalan-jalan kampung kota lain juga aada gundukannya. Tapi gundukan di jalanan kampung Yogya sudah susah untuk dimengerti dengan nalar, banyak yang antar gundukan satu dengan gundukan lain mungkin berjarak sepuluh meter.
Karena itu pula, dulu ada juga guyonan tentang UGM yaitu Universitas Gundukan Melulu. Tentu yang dimaksud bukan UGM-nya melainkan kota di mana UGM berada yakni Yogyakarta. Ada banyak guyonan khas seperti itu, misalnya UGM disebut sebagai Universitas Golek Mertuwa, karena banyak mahasiswa UGM yang menikah dengan sesama mahasiswa atau dengan orang Yogya. Itu katanya, lho�.
Kembali ke masalah gundukan. Maaf, mungkin saya perlu menjernihkan istilah kampung yang saya pakai dalam tulisan ini dulu. Kampung yang saya maksud di sini adalah satu wilayah yang memang dipakai untuk hunian. Bisa macam-macam, bisa kampung beneran atau kampung berupa perumahan. Artinya kalau saya menyebut kampung itu hanya untuk membedakan dengan jalan raya besar di mana pada sisi lajur jalan tersebut bukan merupakan wilayah hunian melainkan sebagai wilayah bisnis.
Saya juga tinggal di salah satu perkampungan di Yogya. Saya bisa merasakan salah satu hal yang paling menyebalkan di jalanan kampung adalah jika ada pengendara motor atau mobil yang ngebut. Ngebut bukan hanya membawa konsekuensi dari bahaya kecepatan kendaraan tersebut tetapi juga suara bising yang sangat mengganggu. Kampung adalah wilayah hunian, ada banyak anak yang bermain, dan orang butuh istirahat di sana.
Karena hal seperti di atas, maka gundukan mengambil perannya. Hal itu bisa saya yakini karena banyak penjelas lain yang melengkapi adanya gundukan. Dari mulai kalimat-kalimat lunak semacam: Harap hati-hati, banyak anak kecil; Harap pelan, banyak anak-anak bermain; sampai yang paling keras; Ngebut benjut!
Lalu gundukan klekaran di jalan-jalan kampung benyak sekali. Dalam rentang seratusan meter, kalau Anda sedang beruntung, hanya akan mendapati lima gundukan. Tapi pasti Anda akan lebih sering sial karena bisa mendapati yang belasan gundukan menghadang perjalanan Anda.
Gundukan di jalanan sering disebut sebagai polisi tidur. Saya tidak tahu persis mengapa disebut seperti itu. Mungkin karena kalau di jalan Anda bertemu polisi, Anda harus hati-hati. Salah sedikit bisa kena tilang. Dan jika ada gundukan, Anda pun harus hati-hati. Kalau tidak, siap-siaplah untuk kaget bahkan bisa jatuh.
Teman saya yang sering berpengalaman buruk dengan polisi dan gundukan berkomentar, �Polisi kalau tidur saja bikin repot apalagi kalau bangun��
Beberapa hari yang lalu, saya nunut mobil teman saya ke suatu tempat. Ketika memasuki jalanan kampung, dan ketika harus memelankan laju mobil karena banyak gundukan, teman saya berkata, �Karena gundukan seperti ini, ibu-ibu banyak yang keguguran.�
Saya langsung tercengang. Tentu saja saya percaya omongan teman saya karena selama bertahun-tahun ia akrab dengan kerja-kerja yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi serta kesehatan ibu dan anak. Ia tidak akan asal ngomong. Apalagi ketika mengatakan hal seperti itu, mukanya terlihat sangat serius.
Pada banyak hal kita memang terlihat pilih kasih. Lihatlah, hanya sedikit kota yang memberi tempat untuk pengendara sepeda angin. Dan di kota-kota itu kalaupun toh ada pasti di lajur-lajur jalan tertentu. Dan pasti lebih sedikit lagi jika saya tambah dengan mana jalan untuk orang yang memakai kursi roda dan orang tuna-netra?
Banyak hal lain juga dirancang dengan semangat laki-laki. Jalanan adalah yang paling gampang untuk melihat itu semua. Kalau Anda perhatikan, sejak dari pilihan sebutan untuk motor saja, sudah sangat jelas. Motor laki-laki, itu artinya besar bentuk, besar mesin dan layak untuk ngebut. Kalau motor perempuan kebalikan dari itu semua.
Coba Anda perhatikan di jalanan, yang paling sering ngebut adalah laki-laki. Kalau ada masalah di jalan, entah itu hampir tabrakan atau senggolan juga diselesaikan dengan cara laki-laki; berkelahi, saling kejar, paling apes menguras isi kebun binatang.
Gundukan adalah contoh yang paling jelas masalah laki-laki dan diselesaikan dengan cara laki-laki. Banyak orang yang ngebut di jalanan kampung. Saya yakin yang sering ngebut pasti laki-laki. Lalu diselesaikan dengan cara laki-laki juga. Karena diselesaikan dengan membuat gundukan sebanyak-banyaknya, tanpa mempertimbangkan ibu-ibu yang hamil, tanpa mempertimbangkan ada banyak orang yang mempunyai siklus menstruasi, yang jika melewati gundukan pasti sakit sekali.
Di kehidupan ini, kita memang sering tidak adil.
Puthut EA
24 November 2006