Guru Sepuh disegani oleh para guru di hampir semua padepokan di negeri ini. Dia hampir punya segalanya: murid yang banyak, usia yang mendekati satu abad, kewaskitaan, dan produktif menulis kitab. Jika para guru dari padepokan-padepokan itu punya persoalan dan terjadi sengketa, mereka datang kepada Guru Sepuh.
Dalam kesehariannya, di padepokannya yang misuwur, Guru Sepuh membuka pintu rumahnya yang ada dalam kompleks padepokan untuk tiga babak waktu. Babak pertama dibuka antara jam 09.00 sd jam 11.00. Waktu itu ditujukan buat penduduk sekitar padepokan. Orang-orang yang datang meminta restu untuk menikah, minta didoakan agar bisnis mereka lancar, minta nasihat ketika rumahtangga mereka sedang retak, dll. Guru Sepuh hanya mendengarkan. Menganggukkan kepala. Lalu mengajak berdoa kepada orang-orang yang punya masalah.
Waktu kedua, antara pukul 16.00 sd 17.00. Hanya sejam, dan ditujukan untuk para pendekar atau pengelana yang sengaja datang dari jauh. Mereka bisa ratusan jumlahnya. Di saat seperti itu, Guru Sepuh akan membedah beberapa kalimat dari kitab yang dianggitnya sendiri. Tidak ada tanya jawab. Semua yang datang hanya mendengarkan. Ketika sesorah itu usai, mereka buyar. Tentu dengan mencium tangan Guru Sepuh sebagai bagian dari adab dan pangestu.
Waktu ketiga terjadi pada pukul 20.00 sd 23.00. Di waktu inilah, para guru datang. Jumlahnya kadang belasan, kadang puluhan. Tidak sembarang orang bisa masuk ke forum malam seperti itu. Di situlah kadang jika ada sengketa antar-guru dicarikan jalan perdamaiannya. Tapi cukup sering pula di forum seperti itu, Guru Sepuh menegur guru-guru lain, jika ada tindakan mereka yang dianggap kurang baik.
Suatu malam, berkumpullah para guru dari berbagai padepokan. Mereka semua sudah gentar karena belum lama ini, ada seorang saudagar kaya yang berkeliling dari padepokan satu ke padepokan lain untuk menggalang dukungan. Dia tampaknya ingin sekali mengincar jabatan mahapatih di negeri tersebut. Dan untuk menduduki jabatan itu, restu dan legitimasi para guru dibutuhkan. Masalahnya, mereka menerima uang dari saudagar tersebut.
Ruangan tintrim ketika Guru Sepuh memasuki ruang pertemuan. Hampir semua orang bisa mendengar desah nafas Guru Sepuh, juga ketukan tongkatnya.
“Kamu…”
Seseorang yang merasa dipanggil, mendongakkan kepalanya.
“Dapat berapa?”
Dengan suara lirih, dia menjawab, “Sepuluh juta rupiah, Guru Sepuh…” usai menjawab begitu, dia kembali menundukkan kepalanya.
“Kamu…”
Seseorang yang merasa dipanggil, pelan mendongakkan mukanya yang pucat. “Saya, Guru Sepuh…”
“Menerima berapa, kamu?”
“Duapuluh juta rupiah, Guru Sepuh…” lalu setelah menjawab, airmatanya menetes. Kepalanya kembali tertunduk.
“Ada yang menerima lebih dari duapuluh juta?”
Ruangan kembali tintrim. Satu persatu beberapa orang mulai mengangkat tangan.
“Ada yang dapat di atas 100 juta?”
Semua kepala saling menoleh. Lalu menundukkan kepala lagi. Tidak ada yang mengangkat tangan.
“Saudagar itu juga datang kepadaku…”
Kepala-kepala para guru makin menunduk dalam-dalam. Beberapa mulai menahan isak tangis. Mereka tahu betapa orang yang dihadapi mereka adalah sosok luhur.
“Aku ditawari 100 juta. Dan aku menolak.”
Orang-orang makin menundukkan kepala. Beberapa mulai terdengar tersengal. Menahan tangis tapi tak mungkin ditumpahkan.
“Lalu aku ditawari satu miliar… Dan aku tetap menolaknya.”
Beberapa guru mulai tersedu. Beberapa yang lain sampai terguguk.
“Dia tidak menyerah. Lalu aku ditawari sepuluh miliar. Kalian dengar? Sepuluh miliar! Dan… Aku terima tawaran itu. Kamu lihat sekarang, gedung padepokan yang sedang dibangun itu memakai uang itu.”
Forum tercekat. Suasana memang hening. Tapi hening yang dirambati suasana agak mencekam. Lalu Guru Sepuh itu meninggalkan ruangan.
Forum buyar. Semua hanya bisa saling pandang. Baru ketika sampai di regol padepokan, para guru itu berdebat. Perdebatan makin keras. Mereka punya tafsir sendiri-sendiri atas apa yang barusan mereka dengar.
Salah seorang guru berkata, “Guru Sepuh itu mau bilang bahwa kalau kita mau menjual otoritas kita kepada para saudagar atau politikus, jangan dijual yang murah. Jual yang mahal!”
“Tidak, bukan itu!” Seorang guru lain menyahut. “Guru Sepuh mau bilang: Terserah uang itu didapat dari mana, yang penting tidak dimakan sendiri melainkan untuk kemaslahatan umat!”
Lalu ada seorang guru yang segera menyergah. “Aku kira tidak seperti itu. Guru Sepuh mau bilang, kita yang ilmunya rendah ini, hanya pantas menerima sedikit. Kalau Guru Sepuh karena ilmu beliau tinggi, layak mendapat yang banyak.”
Perdebatan itu makin ramai dan runyam. Bahkan beberapa sampai hampir berkelahi mengeluarkan jurus-jurus andalan masing-masing padepokan. Untung masih bisa dilerai. Mereka lalu bersepakat esok malam akan menanyakan hal tersebut kepada Guru Sepuh.
Esok malamnya, semua kembali diam. Hanya ada nafas Guru Sepuh yang terdengar, dan ketukan tongkatnya. Tidak ada suara bertanya. Dan tidak ada yang berani mendongakkan kepala.