Laki-laki ganteng itu turun dari mobil Karimun kotak sambil menebar senyum. “Mas Kromoleo di mana?”
“Wah wis lunga, Mas. Ketoke ana sing meh pesen digawekke ensiklopedia.” jawab saya sambil menyalaminya. Dia diikuti dua temannya langsung duduk dan memesan minum di Warmo.
Saya masih iwut ngobrol sama teman saya. Mas Salim, laki-laki yang datang dengan Karimun itu juga terlihat ngobrol asyik dengan para mantan Sekjen Insist.
Setelah situasi agak pas, saya datang menyapanya: “Piye kabare bukumu, Mas?”
“Yaaa lumayanlah…” wajahnya yang tampak mriyayeni itu menebar sifat optimistik. “Aku tu kangen je sama Mas Krom. Dia itu aneh lho. Aku gak ketemu tiga hari saja sama dia, kangen rasanya.”
“Lha beliau ki memang nduwe ilmu pelet je, Mas…” jawab saya melempar gojek kere.
Akhirnya kami berdua terlibat obrolan yang menyenangkan. Ngobrol dengan laki-laki asal Banjar itu memang tidak pernah tidak asyik. Sebagai seorang intelektual, dia bisa jadi rujukan kisah hidup banyak orang di masa lalu. Kisah-kisah asyik.
“Aku itu sebetulnya mau ngajak Mas Krom nyoto di Pak Sholeh…” ungkapnya di sela obrolan ringan itu.
“Mau esuk ki aku bar nyoto mrana je, Mas…”
Soto Pak Sholeh ini salah satu soto legendaris di Yogya. Sekarang cabangnya ada di banyak tempat. Di dekat rumah saya juga ada. Tapi bagi orang-orang yang lama tinggal di Yogya, kalau menyebut nama ‘Soto Pak Sholeh’ maka yang dimaksud adalah yang berada di Tegalrejo.
“Pertengahan tahun 80’an, saya dan kawan-kawan diajak makan Gus Dur ke sana. Wah ya kami senang sekali. Eh, begitu selesai makan, Gus Dur lalu mengajak pulang. Aku ya langsung panik…”
Dia tertawa sebentar. Mungkin terkenang masa lalunya. “Kami waktu itu mana punya uang?”
“Lha terus piye, Mas?”
“Ya mau gimana lagi? Kami akhirnya pergi begitu saja. Merasa tidak enak karena tidak ada yang membayar, esoknya aku menemui Mas Imam.” Imam yang dimaksud Mas Salim adalah Imam Aziz, seniornya di IAIN dan LKiS. Mas Imam kalau tidak salah sekarang ini adalah salah satu pengurus PBNU.
Mas Salim lalu dikasih uang oleh Mas Imam untuk membayar ke soto Pak Sholeh.
Keesokan harinya, Mas Salim datang lagi ke sana. Langsung menemui Pak Sholeh dengan malu-malu. Lalu terjadilah dialog ini:
“Pak Sholeh, anu.. saya itu kemarin dan kawan-kawan makan di sini bersama Gus Dur. Tapi belum bayar. Saya minta maaf. Ini bayarnya sekarang nggih…”
Pak Sholeh yang waktu itu masih sugeng, langsung menjawab, “Lho Dik, nggak usaaaaah! Warung saya ini didatangi Gus Dur saja sudah barokah. Apalagi Gus Dur mau makan di sini. Tambah barokah.”
Mas Salim muda langsung terdiam. Pak Sholeh menyambar dengan pertanyaan lagi: “Sudah makan belum?”
“Belum, Pak…” jawab Mas Salim muda sambil gelagepan.
“Makaaan duluuuuu!”
Mas Salim tertawa ngekek. “Istilah ‘makan dulu’ itu, nanti akan jadi ciri khas Pak Sholeh dalam kehidupan kami, terutama menjelang LKiS berdiri.”
Sebetulnya itu bukan kisah pertama Mas Salim dengan soto Pak Sholeh. Ketika awal menjadi mahasiswa di pertengahan tahun 80’an, dia yang baru datang dari Banjar, langsung mendaftar di persma UIN. Dia ingin belajar menulis. Sialnya, dia kebagian cari iklan.
Salah satu langganan pengiklan majalah itu adalah soto Pak Sholeh. Dia pun berangkat di sana, lalu disumbang 30.000 rupiah. Uang sebesar itu di masa tersebut, sangat besar. Namun sampai berbulan-bulan kemudian, majalah itu tidak terbit juga. Karena merasa tidak enak dengan Pak Sholeh, Mas Salim muda pun datang ke sana, henda meminta maaf.
“Ooo ya nggak apa-apa, Dik… Saya sudah ikhlas. Sudah makaaan?”
Mas Salim muda yang masih agak pucat karena merasa bersalah, spontan menggelengkan kepala karena memang belum sarapan.
“Makaaaan duluuuuuu!”
Mas Salim tertawa lagu. “Kalau mengingat semua peristiwa kami dengan Pak Sholeh, kami yakin beliau ini masuk surga. Hatinya baik sekali. Baiiiiik sekaliiiii!”
“Wah, Mas Kromoleo nek ngerti Pak Sholeh kaya ngono, mesthi jaman nom-nomane mben esuk mesthi dolan mangan mrono, ngenteni Pak Sholeh ngomong: makaaan duluuuuu!”
Kami berdua ngekek.
“Gini, Thut…” tiba-tiba Mas Salim bicara agak serius.
“Ada pesan Mas Krom yang sangat penting. Dia itu kan sering jatuh salam bisnis buku… Dia berpesan sama aku:
‘Lim, kamu kalau diutangi teman, terus orangnya gak bisa bayar, kamu wajib menagih. Tapi jangan sampai menyakiti perasaan mereka. Aku itu sudah punya pengalaman berutang sama banyak teman dan dimaki-maki oleh mereka.’
Menurut Mas Krom, itu sangat menyakitkan.”
“Aku ya setuju nek kuwi, Mas. Cen nek wong saya tuwa ki selalu berubah jadi bijaksana. Tapi ana masalah liya kuwi…”
“Apa kuwi?”
“Masalahe, Mas Krom kuwi mung nduwe satu pengalaman saja, yaitu: ditagih utang. Dia mungkin seumur hidup belum pernah merasakan bagaimana menagih utang.”
Mas Salim ngakak.
“Dadi Mas, dalam soal utang-piutang, aku ya sepakat karo Mas Krom. Jangan sakiti orang yang berutang pada saat menagihnya. Tapi aku nduwe tambahan: kiat supaya jangan sampai melakukan hal itu adalah dengan cara jangan pernah mengutangi mereka.”
Kami berdua ngakak lagi. Tawa saya terhenti ketika ada seorang pemesan mengeluh ke rekan-rekannya di meja sebelah kami: “Wah, adoh-adoh mrene, jebul kopi Blue Tamblingane entek…”
Wah…