Saya juga pernah sepemikiran dengan teman-teman yang mengkritik ada gelar ‘haji’ di Indonesia. Tapi setelah sedikit saya belajar, saya bisa mengerti penyematan gelar ‘haji’.
Dulu, orang-orang Nusantara perlu persiapan belasan bahkan puluhan tahun untuk naik haji. Bahkan perjalanan haji pulang-perginya saja bisa berbulan-bulan ketika masih naik kapal laut. Belum lagi aturan keras dari pemerintah kolonial Belanda.
Gelar haji itu sebetulnya pertemuan antara dua hasrat: hasrat ketika orang dengan seluruh upayanya bisa naik haji, dan hasrat dari pemerintah kolonial agar mereka mudah diawasi. Sebab orang yang sudah berhaji dianggap bisa membawa paham ‘radikal’.
Ketika kolonial pergi, gelar haji tetap berlanjut. Tapi setidaknya kita tahu konteks sejarahnya.
Sementara itu, ada juga konteks ‘kamanungsan’ sebagai orang timur. Saya pernah cerita, menurut Gus Baha’, Mbah Maimun duka (marah) kalau melihat santrinya belum pergi haji tapi sudah memakai kupluk putih (kupluk haji). “Cung, wong-wong ndesa iku ngedol sapi puluhan, ngedol sawah, lunga kaji. Kok saiki mbok saingi karo kuplu rega limang ewu! Perasaanmu ki mbok deleh ngendi?”
Terjemahan bebasnya: “Nak, wahai para santri, orang-orang desa itu pergi haji dengan menjual puluhan sapi, atau menjual sawah. Lalu kamu saingi mereka hanya dengan kupluk seharga 5000 rupiah. Di mana perasaanmu?”
Di beberapa daerah, misalnya yang saya tahu di Madura. Saudara-saudara kita di sana rela menabung sehari 100 rupiah atau ribuan rupiah. Setiap hari mereka disiplin melakukan itu mungkin dari remaja hingga sudah sepuh. Butuh waktu menabung belasan hingga puluhan tahun agar bisa menunaikan ibadah wajib bagi umat Islam itu. Itu salah satu cita-cita tertinggi mereka dalam hidup. Cita-cita yang mulia.
Di Jawa juga banyak yang seperti itu. Bapak dan ibu saya menabung lebih dari 10 tahun untuk naik haji. Benar bahwa mereka berdua tidak butuh dipanggil haji atau hajah. Tapi pasti tidak akan mempersoalkan gelar haji.
Kalau sekarang mungkin ada banyak yang mampu. Tapi mungkin persoalan lain muncul: daftar antre. Di beberapa wilayah, daftar antrean haji sudah tembus sampai lebih dari 10 tahun.
Orang Nusantara naik haji berbeda dengan orang Timur Tengah naik haji. Tapi setidaknya kita bisa mengerti. Itulah kenapa saya dari dulu tidak setuju kalau urusan kata dan bahasa itu cuma melulu soal tata bahasa. Sebaiknya kita belajar hal yang lebih penting dari itu: konteks sosial dan sejarahnya ketika kata tersebut ada.
Setidaknya kita bisa mengerti. Mengerti tidak harus setuju. Tapi mengerti membuat kita lebih punya kelapangan dada menerima perbedaan. Salam…