Sekalipun saya bukan ahli agama, tapi saya kira persoalan “jilbab halal” itu memang berlebihan. Persoalan jilbab di negeri ini memang menunjukkan betapa semerawutnya cara berpikir kita.
Mestinya, jilbab itu simbol dari kapasitas spiritual, yang kemudian punya hubungan dengan penghormatan kepada orang lain. Tapi di negeri ini, jilbab bisa membuat yang memakai menjadi ujub dan memandang rendah yang tidak berjilbab. Ternyata persoalan tidak berhenti di situ. Mulai muncul persoalan baru: orang yang memakai jilbab syar”i merasa derajatnya lebih tinggi dibanding yang memakai jilbab biasa.
Eh, ternyata persoalan belum usai. Tidak lama lagi bakal datang sebuah era ketika orang berjilbab dengan logo halal akan memandang aneh kepada pemakai jilbab lain yang tidak ada cap halalnya.
Memasuki istilah “halal”, mau tak mau kita juga mesti masuk ke ekonomi-politik halal. Untuk urusan ini, Emha Ainun Nadjib dan Prof Yusril Ihza Mahendra pun pernah urun pikiran. Bagi mereka berdua aneh sekali ada logo halal di produk makanan atau minuman. Mestinya, logika sosialnya begini: di negeri yang mayoritasnya warga muslim, maka semua produk makanan dan minuman diasumsikan halal. Maka yang diberi cap adalah produk makanan dan minuman yang “tidak halal” alias haram.
Sungguh logika yang masuk akal dan mudah dimengerti. Tapi yang punya pendapat mereka berdua lho ya, yang entah Anda suka atau tidak, kapasitas keilmuan mereka untuk soal halal dan haram pastilah lebih bisa dipercaya dibanding saya. Logika tersebut penting karena berdampak besar. Sebab segala yang dibuat-buat, dipersulit, dirumit-rumitkan, akan berpotensi korup.
Apalagi kalau nanti sudah ada yang mempersoalkan, apakah produk makanan yang membayar murah upah buruhnya layak diberi label “halal”? Bahan makanannya memang halal, tapi kalau cara kerjanya dengan mengisap kerja orang lain apakah bisa disebut halal? Tambah repot nanti kalau kita teruskan.
Tapi ya sudahlah, di negeri ini segala yang ribet dan menumbuhkan tanda tanya tak perlu dituntaskan. Kadang ya untuk ditertawakan sebagai cara untuk menjaga kewarasan.
Ngomong-ngomong, dulu saya punya kawan yang berprofesi sebagai seniman. Dia berasal dari Jember dan baru setahun tinggal di Yogya. Kawan saya itu naksir seorang perempuan berjilbab. Maka mulailah dia melakukan manuver pedekate, hingga berhasil mengajak si perempuan ini jalan-jalan naik sepeda motor pinjaman. Bukan jalan-jalan ding, soalnya kan naik sepeda motor.
Ketika mau balik ke kos si perempuan, mereka berdua makan malam. Pikiran teman saya sederhana, warung makan yang enak bisa ditandai dari jumlah orang yang makan. Maka dia menghentikan laju motornya di sebuah warung yang terletak di bilangan Jetis, sebab warung itu cukup ramai.
Semenjak masuk warung, mereka bedua menjadi pusat perhatian baik oleh pemilik warung maupun pengunjung. Hidung teman saya sudah tentu mengembang. Dia berpikir, orang-orang itu takjub atas pasangan yang ideal: si laki-laki ganteng, si perempuan cantik.
Setelah lama duduk dan memesan tongseng, seorang pegawai warung mendekati teman saya kemudian bertanya sambil berbisik: “Mas, sampeyan berdua serius pesan makanan?”
Teman saya agak tersinggung. Waktu itu dia memang belum begitu mapan. Tapi kalau cuma beli makan saja, semahal apapun pasti kuat. “Ya serius!” ungkap teman saya dengan nada tinggi.
“Bentar, Mas… Jangan emosi dulu.” kata pegawai warung. “Begini, Mas… Sampeyan tahu warung ini warung apa? Saya hanya ingin memastikan saja soalnya kan pacar sampeyan pakai jilbab.”
Begitu dia mendengar kalimat yang di dalamnya ada istilah “pacar sampeyan”, emosi teman saya mereda. Dia kemudian bilang dengan jujur. “Ya yang namanya tongseng pasti kambing to, Mas…”
“Nah, sampeyan keliru, Mas. Ini warung yang menjual tongseng anjing.”
Teman saya langsung pucat. Segera dia mengucapkan terimakasih, lalu mengajak perempuan yang sedang dibribiknya itu untuk segera oncat dari warung tersebut.
Ketika si perempuan yang berjilbab itu bertanya kenapa harus pergi padahal pesanan mereka belum datang, kawan saya menjawab, “Tadi pegawainya minta maaf, soalnya tongsengnya tinggal tulang. Gak cocok untuk kita.”
Kini mereka berdua sudah menikah dan dikaruniai seorang putera. Dari kisah itu, teman saya tahu, apa salah satu fungsi jilbab dalam kehidupan sehari-hari.
Mengingat kisah itu, tiba-tiba saya ingat Agus Mulyadi. Bagi dia, soal halal hanya merujuk ke satu hal: Kapan tiba waktu baginya ketika di sebuah malam, dia halal menyentuh seorang perempuan yang bukah muhrimnya.
Betapa mahalnya halal itu ya, Gus…