Ketika sepeda motor yang dinaikinya melintas di sisi Timur kampung, Hamdan dicegat segerombol laki-laki. Bau alkohol tercium tajam.
“Hamdan, tolong belikan rokok,” ujar salah satu di antara mereka, sambil mengulungkan sehelai uang kertas.
“Ooo beres, Mas. Sampeyan tunggu sebentar!” Dengan setengah ngebut, sepeda motornya digas, menembus malam.
Ketika melewati sisi Barat kampungnya, laki-laki yang dua bulan lagi berusia 25 tahun itu mendengar namanya dipanggil. Dia menghentikan laju sepeda motornya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
Dari balik pepohonan sengon dan marengki, beberapa orang muncul. Mereka mendekati Hamdan. “Hamdan, tolong bantu kami mengangkat rel kereta api…” terdengar suara dari mulut salah seorang di antara mereka, tapi tak jelas yang mana.
“Saya mau beli rokok, Mas.”
“Iya. Kalau kamu sudah bantu kami mengangkat rel, kamu kan bisa membeli rokok. Tak lama.”
Hamdan lalu memarkir sepeda motornya di pinggir jalan. Kemudian mengikuti langkah orang-orang menuju bekas jalur kereta api yang sudah lama mati.
Ketika sedang mengangkat rel, tiba-tiba ada belasan orang menyerbu. Lalu ada letusan pistol. “Berhenti! Jangan ada yang bergerak!”
Orang-orang yang sibuk mengangkat rel, segera melempar rel, dan berlari. Termasuk pasangan Hamdan mengangkat batang besi. Hamdan bengong. Kedua tangannya masih dalam posisi mengangkat rel di salah satu ujung, sementara ujung yang lain menyentuh tanah, ditinggal berlari penggotongnya. Hamdan hanya berdiri melihat kesibukan orang-orang yang baru datang, yang berusaha menangkap orang-orang yang meminta bantuannya. Hingga seseorang bertubuh gempal menyamplak rahangnya, meringkus tangannya, dan menggelandangnya naik ke atas bak truk.
Hamdan masih bingung dengan apa yang terjadi, bahkan ketika dia dimasukkan ke jeruji besi. Pikirannya tidak jenak. Menjelang Subuh, gilirannya diperiksa.
“Sudah berapa lama kamu mencuri rel kereta api?”
“Mencuri apa, Pak?”
“Mencuri apa, Pak? Saya hanya akan membeli rokok…”
Plak! Satu tamparan mendarat di pipi kiri Hamdan.
“Siapa yang memimpin rombongan pencuri ini?”
“Tolong dilepas, Pak. Saya nggak enak sama teman-teman, saya disuruh beli rokok…”
Plak! Dalam waktu setengah jam, belasan pukulan dan tamparan tiga polisi yang memeriksanya, menghujani Hamdan. Tapi Hamdan bergeming. Dia terus meminta agar dibebaskan karena harus membeli rokok.
Sambil mengusap darah yang keluar dari celah bibir dan hidungnya, Hamdan memohon, “Pak, ini sudah hampir pagi, saya nggak enak sama teman-teman. Sudah begini saja, Pak… Saya tak keluar sebentar. Mengembalikan uang mereka, setelah itu saya akan balik ke sini, Pak…”
Kembali satu getokan mendarat di kepala Hamdan, sebelum kemudian ketiga polisi meninggalkan laki-laki berkulit legam yang sebentar lagi akan menikah itu dalam keadaan merasa bersalah karena belum menunaikan amanah membelikan rokok teman-temannya.
Ketika beberapa hari kemudian Hamdan dikeluarkan dari sel tahanan, hal pertama yang dilakukan adalah meminjam uang ibunya, kemudian membeli sebungkus rokok, lalu mencari orang yang memintanya membelikan rokok.
“Mas, maaf lama sekali saya membeli ini.” katanya sambil mengulungkan sebungkus rokok.
Laki-laki yang memintanya membeli rokok, meneteskan airmata. Lalu memeluk Hamdan erat sekali.