Saya terbangun dari mimpi, yang tidak bisa saya candra apakah baik atau buruk. Tapi bisa tidur malam hari, sekalipun hanya 2 atau 3 jam, adalah sesuatu yang sangat saya syukuri. Saya selalu setuju, tidur malam, pada beberapa hal, tidak tergantikan.
Dan saya suka jam segini, rentang antara jam 2 dinihari sampai jam 4 pagi. Rentang waktu yang paling sunyi. Di jam-jam seperti ini, paling enak buat berpikir, merenung, membaca, dan tentu saja menulis.
Ketika saya nginguk Facebook sebentar, saya mendapatkan tautan ini dibagikan oleh Agus Mulyadi. Karena saya adalah pengagum dari pemilik blog tersebut, saya segera membaca isi tautannya.
Saya membaca dengan khidmat. Khusyuk. Hingga rampung.
Hans David, Si pemilik Blog, adalah sedikit orang yang telah membuktikan bahwa lewat media sosial, dia bisa membongkar sesuatu. Saya tidak kenal dia. Saya adalah follower akun Twitternya.
Suatu saat, dia membuat seri kicauan tentang sebuah kelompok yang menamakan diri mereka sebagai sebuah kelompok Sufi. Kebetulan, saya kenal beberapa anggota kelompok tersebut, termasuk “mursyid”-nya.
Sang Mursyid yang selalu dikelilingi murid-muridnya itu pernah datang beberapa kali ke Angkringan Mojok yang waktu itu masih bernama Warung Mas Kali. Sesekali saya ikut ambil bagian di lingkaran tersebut. Ikut mendengar saja. Saya tidak menaruh curiga apapun. Saya selalu berpikir adalah hak orang untuk mencari ketenangan, melakukan pencarian spiritual, dan tentu saja hak berorganisasi.
Hingga suatu saat, saya hendak direkrut oleh kelompok tersebut. Saya sudah hampir bersedia, setidaknya saya sudah bersedia bertemu enam mata: saya, Sang Mursyid, dan salah satu tangan kanannya, yang kebetulan adalah sahabat baik saya.
Saya ditanya beberapa hal. Saya menjawab dengan sangat lancar. Misalnya pertanyaan apakah saya percaya dengan Tuhan? Saya jawab dengan jujur, saya tidak tahu apakah saya percaya atau tidak, tapi saya agak yakin kalau dunia ini sepertinya ada yang mengatur, dan karena saya beragama Islam, ya saya kadang melakukan ritual agama Islam.
Malam itu, entah kenapa, saya berusaha menatap kedua mata Sang Mursyid itu. Untungnya, di malam itu, dia selalu menghindari tatapan mata saya, dan dia bilang bahwa saya bukan orang yang punya tipe spiritual sehingga tidak layak masuk ke kelompok tarikatnya.
Saya lega. Sebab rasanya tak nyaman bergabung dalam organisasi yang saya merasa tidak sreg. Tapi di sisi lain, saya juga merasa waswas. Saya merasa ada sesuatu yang keliru, tapi saya tak punya bukti apa-apa.
Sekira sebulan setelah peristiwa tersebut, seri kultwit Hans muncul. Saya menyimak betul seri itu. Hans “membongkar” ketidakberesan kelompok sufi tersebut. Tapi di sinilah menariknya, Hans fokus pada upaya penipuan Sang Mursyid terhadap murid-muridnya. Jadi dia tidak melakukan apa yang kerap dilakukan oleh orang jika membahas sebuah isu: blaming the victim. Menyalahkan korban.
Terjadi perdebatan sengit antara Hans vs Sang Mursyid. Tentu akhirnya dimenangkan oleh Hans. Bahkan Hans bisa membuktikan lewat kepceran “orang dalam” kelompok tersebut. Dan Anda tahu apa yang terjadi? Tak lama kemudian, semua murid Sang Mursyid akhirnya menggelar rapat diam-diam, lalu sepakat untuk menuntut Sang Mursyid atas penggelapan keuangan kelompok ini. Akhirnya, kelompok tersebut bubar.
Saya mengikuti semua itu dengan baik, dan menjadi saksi yang cukup dekat dengan peristiwa tersebut. Sekalipun tak dekat amat.
Sejak saat itu, saya makin mengapresiasi wartawan Jakarta Post tersebut, dan rajin menengok blognya. Dan malam ini, lebih tepatnya dinihari ini, saya membaca tulisan teranyar Hans. Cara berpikirnya jernih. Argumennya kokoh. Analisisnya tajam. Satu lagi, dia tahu bagaimana menulis dengan baik.
Jika Anda tidak setuju dengan Hans, saya kira Anda bisa mendebatnya di kolom komentar tulisannya ini. Bukan di kolom komentar saya.
Saya membagikan tulisan ini dengan tanpa niat buruk. Bukan untuk merisak nama orang. Tentu Anda tahu apa beda kritis, fitnah, dan risak. Kalau Anda berkenan, bacalah. Kalau tak berkenan, sudahlah.