Menjelang tutup tahun 2030, akhirnya perseteruan Kanan dan Kiri meletus lagi. Kali ini, lagi-lagi Kiri yang kalah. Hanya saja berbeda dengan kejadian 65 tahun sebelumnya, nyaris tidak ada pembunuhan yang terjadi, dan hanya puluhan ribu orang yang dituduh Kiri yang ditangkapi.
Dalam situasi yang agak tegang itu, diam-diam terjadi juga ketegangan di sebuah lembaga yang bernama “Dewan Penyusun Hukuman dan Pengubahan Ideologi” (DPHPI), yang terdiri dari berbagai perwakilan elemen Kanan yang terpilih. Tugas lembaga itu adalah untuk merumuskan hukuman yang tepat bagi para tahanan, dan mengubah haluan mereka dari Kiri ke Kanan.
Dengan segera lembaga itu terbelah menjadi dua kubu dan terjadi perdebatan yang sengit. Kubu pertama dipimpin oleh seorang Brigadir Jenderal yang masih muda usia, cerdas, lulusan terbaik di akademi militer, menimba ilmu di Harvard, dan lama menjadi bagian dari tim elit telik sandi. Dia dan kubunya berpendapat bahwa hukuman yang dilakukan harus lebih keras dari yang terjadi pasca-tahun 1965.
Kubu ini berpijak pada sebuah penelitian yang mereka lakukan atas hukuman yang terjadi pada pertarungan politik 1965. Menurut mereka, orang-orang di kubu ini, sekalipun para tahanan sudah disiksa, dipenjara, dibuang, dan diberi Santiaji Pancasila setiap minggu, tetap saja tidak terjadi apa yang disebut sebagai “perubahan ideologi”.
“Mereka, orang-orang Komunis itu, memang menderita. Tapi mereka pandai berpura-pura. Hanya kurang dari 5 persen yang benar-benar berubah ideologi mereka. Sebagian dari mereka yang kemudian bebas dari hukuman, dengan berbagai cara, malah telah turut berkontribusi pada penumbangan Orde Baru.” kata Sang Brigadir Jenderal itu, sebelum mengurai kurikulum hukuman yang akan ditawarkan oleh kubunya. Kurikulum yang lebih kejam dari apa yang telah dilakukan oleh orang Kanan pasca-tahun 1965.
Sementara kubu lain dipimpin oleh seorang budayawan Kanan yang cemerlang. Juga masih muda usia. Dia mengasah naluri politiknya dari kampus, berawal dari masjid kampus. Kemudian setelah lulus kuliah dari Universitas Gadjah Mada fakultas Ekonomi dan Bisnis, dia mendirikan berbagai jenis usaha, dan menjadi pentolan dari sebuah sindikasi pengusaha Kanan yang sangat kuat secara ekonomi. Tapi namanya lebih dikenal publik sebagai seorang novelis dengan karya-karyanya yang best seller.
Menurutnya, hukuman yang dipaparkan oleh kubu Sang Brigadir Jenderal itu terlalu berlebihan. “Anda ini membayangkan orang Kiri sekarang ini sama dengan orang Kiri 65 tahun lalu. Faktanya tidak begitu… Zaman telah berubah.” tutur bahasanya halus. Khas intelektual jebolan kampus dan budayawan onjo.
Berbeda dengan model penyiksaan yang ditawarkan kubu lainnya, pria yang kadang-kadang menulis puisi ini justru menawarkan supaya orang-orang Kiri dipenjara dalam penjara yang disebutnya secara gamblang sebagai “Penjara yang Mengasyikkan”.
“Beri mereka tempat tidur yang nyaman. Makanan yang enak. Dan beri fasilitas hiburan yang baik. Termasuk fasilitas perpustakaan yang besar, yang menyediakan banyak buku, termasuk buku-buku Kiri.”
Perdebatan itu akhirnya berakhir dengan dimenangkan oleh Kubu Sang Budayawan. Ketika rapat yang meletihkan selama berhari-hari itu berakhir dengan keputusan tunggal, Sang Budayawan berjalan menyalami Sang Brigadir Jenderal. “Jenderal, Anda harus percaya kepada saya. Anda tidak bisa membunuh ideologi. Tapi bisa mencegah penyebarannya, dan sifat radikalnya. Dengan diberi fasilitas seperti itu, maka yang akan terjadi, ada dua. Pertama, mereka akan saling berdebat di antara mereka sendiri, siapa yang paling kiri. Kedua, mereka akan sibuk mengagitasi dan berpropaganda di kalangan mereka sendiri. Nanti akan menjadi hiburan tersendiri bagi kita, maksud saya jika Anda tertarik meneliti, ketika mereka melakukan itu semua. Apalagi kalau sudah saling suruh baca dan berdebat teori.”
Sang Brigadir Jenderal mengangguk. Sekalipun dengan muka beku.