Seorang guru memanggil murid kinasihnya yang baru saja lulus, untuk memberi wejangan terakhir.
“Muridku, di luar sana, di dunia yang pikuk, menjalankan salat 5 waktu dan ibadah lain, kadang tidak ada hubungannya dengan tabiat orang…
“Padahal mestinya, makin rajin beribadah, makin lembut perasaannya, makin teduh mukanya, makin jembar hatinya…
“Kamu tahu kenapa?”
Sang Murid sedikit menegakkan kepalanya, lalu dengan hati-hati dia menjawab, “Kurang ilmu dan kurang khusyuk, Guru…”
“Benar. Tapi bisakah kamu memberiku penjelasan yang lebih gamblang?”
Sang Murid terdiam. Karena dibiasakan untuk berterus terang, akhirnya dia memilih menggelengkan kepala.
“Karena beribadah dianggap sebagai selingan, Nak. Orang-orang bekerja, lalu saat Dhuhur tiba, dia salat. Lima menit. Ingat Tuhan. Kerja lagi. Saat Ashar tiba, dia salat lagi. Ingat Tuhan lagi. Lima menit lagi. Sesaat sesudah tiba di rumah, bedug Magrib mengalun, dia salat lagi. Ingat Tuhan lagi. Lima menit lagi. Begitu seterusnya…”
Sang Murid tercenung.
“Sementara di sini, kita dibiasakan menghabiskan waktu untuk menunggu dari waktu salat satu ke waktu salat yang lain. Di sini kita terbiasa menahan rindu untuk bersujud. Sehingga waktu antara itu semua, kita pakai untuk bekerja sebagai bagian tak terpisahkan dari kerinduan kita akan sujud. Kita bertani di pagi hari karena kita rindu sujud di kala Dhuhur. Kita mengaji di sore hari karena kita rindu sujud di saat Magrib. Bekerja itulah selingan kita. Bukan beribadah. Mencari rezeki itulah selingan kita. Sebab intinya adalah sujud dan syukur…”
“Guru…” air mata Sang Murid mulai menggenang. “Bolehkah saya tinggal di sini lebih lama?”
“Tidak, muridku… Sebab Muhammad pun kembali ke bumi. Bima pun keluar dari diri Bima Ruci. Hidup harus dihadapi.”
Sang Murid kemudian pamit undur diri. “Ingat, muridku… Kegiatan yang lain hanyalah selingan belaka. Jangan ikut yang terbolak-balik. Ibadah dijadikan selingan. Ini berat. Tapi begitulah adanya.”
Sang Murid mengangguk.