Sejumlah dosen di beberapa universitas dan sejumlah seniman di Yogyakarta membuat gerakan dengan tajuk “Indonesia Berkabung”. Mereka dipersatukan oleh keresahan yang sama, kenapa dalam kondisi seperti ini kampus dan seniman yang biasanya kritis tak juga bersuara?
Saya tak tahu detil isunya. Sampai sekarang saya belum membaca pernyataan sikap resmi mereka. Hanya potongan-potongan kabar di media sosial dan poster kegiatan mereka. Tapi bolehlah saya merasa lega. Masih ada sekelompok orang yang ikut menjaga rasa awas.
Tiba-tiba saya teringat Pram. Di usia produktifnya, sastrawan besar itu senantiasa “bermasalah” dengan kekuasaan. Maka dia melewatkan hampir 2 tahun di bawah pemerintahan kolonial Belanda, 9 bulan di era rezim Sukarno, dan 14 tahun di bawah kekuasaan Suharto. Ketika Gus Dur berkuasa dan meminta maaf atas kesalahan NU yang terlibat terhadap pembantaian orang komunis, Pram menanggapi: permintaan maaf saja tidak cukup.
Tapi Pram mengakui kebesaran Sukarno. Tanpa Sukarno, kata Pram, Indonesia tidak ada. Dan Pram juga mengakui kebesaran Gus Dur. Saya kira di titik ini lah Pram menunjukkan marwah sekaligus rasa adilnya.
Orang seperti Pram adalah “persoalan” bagi setiap kekuasaan. Saya tidak tahu bagaimana jika dia hidup di era SBY dan Jokowi. Mungkin dia termasuk orang yang akan kena bully habis-habisan. Kalau Pram punya Facebook mungkin akan di-unfriend koleganya atau bahkan pengagumnya sendiri. Mungkin SBY atau Jokowi malah sebetulnya tidak punya masalah dengan Pram. Justru pendukung mereka berdua yang mungkin punya masalah. Lalat-lalat memang lebih sering menjadi pengganggu daripada seekor tawon.
Saya yakin mereka yang bergabung dengan gerakan Indonesia Berkabung ketika musim Pilpres lalu banyak yang bergabung sebagai relawan Jokowi. Tapi ketika perhelatan politik itu telah rampung, mereka kembali menjaga jarak dengan kekuasaan. Hanya orang cekak pikir yang percaya begitu saja kepada kekuasaan. Mereka yakin kekuasaan tidak akan pernah baik-baik saja karena itu perlu diawasi dan dikritik.
Mungkin keresahan Pak St Sunardi dkk ini juga dirasakan banyak orang. Dan saya kira akan ada banyak orang yang akan bergabung dengan gerakan Indonesia Berkabung. Sebab kesenian dan laku intelektual yang tidak mempertimbangkan penderitaan manusia adalah dekaden.
Kalimat terakhir itu bukan dari saya melainkan dari sastrawan besar Seno Gumira Ajidharma. Tapi saya lupa membaca pernyataan itu di tulisan yang mana.
Saya benar-benar sedang menunggu pernyataan politik gerakan Indonesia Berkabung.
Selamat pagi…