“Mas, sampeyan setuju Islam Nusantara gak?”
“Lho ya setuju. Sunni, Syiah, NU, Muhammadiyah, Islam Nusantara, dll, pokoknya saya setuju semua. Tapi Islam saya sih Islam Mega Asri.”
“Lho, apa itu Islam Mega Asri?”
Berceritalah saya kemudian soal apa itu Islam Mega Asri. Suatu saat di sebuah kompleks perumahan, para warga bersepakat untuk “menghidupkan” masjid perumahan. Fasilitas masjid ada tapi selama ini tak ada kegiatan. Akhirnya kepala RT perumahan tersebut diberi mandat untuk membangun kamar buat takmir masjid, dan menambah fasilitas masjid. Dana disokong rame-rame oleh warga perumahan.
Ketika semua sudah terbangun, keributan kecil terjadi. Beberapa warga berunding. Mereka takut kalau pengurus takmir masjid berasal dari orang Islam yang berpakaian cingkrang. Mereka tidak mau hal seperti itu terjadi. Kekhawatiran itu bukannya tanpa alasan, sebab Pak RT juga berasal dari aliran serupa. Tukang-tukang yang bekerja juga serupa.
Maka beberapa perwakilan mereka menghadap Pak RT. Setelah mendengar apa yang disampaikan oleh rombongan itu, Pak RT meminta maaf atas kekeliruannya kalau memang dianggap tidak patut mendatangkan tukang-tukang yang satu aliran dengannya. Sebab hanya mereka yang dikenal oleh Pak RT. Dia juga setuju kalau takmir masjid bukan berasal dari kelompoknya. Kemudian mempersilakan para warga untuk mencari takmir yang pas.
Sampai sekarang, masjid perumahan itu tetap kosong. Para warga tidak berhasil mendapatkan takmir masjid sesuai keinginan mereka. Tetap tidak ada kegiatan di masjid. Perumahan itu bernama Mega Asri.
“Lha kok sampeyan malah pakai istilah itu, Mas? Itu kan proses yang gagal?”
“Pertama, soalnya saya ada alasan gak Jumatan. Kedua, kejadian seperti ini khas Indonesia, je. Masjid mereka sering kosong, lalu ketika tiba-tiba sudah dikuasai kelompok lain, njuk nesu. Lha salahe ditinggal kosong…”
“Jinguk sampeyan itu, Mas!” kata teman saya sambil ngekek.