Apa yang masih tersisa dari sikap sinis seorang sastrawan seperti Mahfud Ikhwan? Banyak. Saya akan urai satu di antaranya.
Mungkin di area pertemanan saya yang agak jembar ini, Mahfud adalah orang yang pertama kali bisa menyuarakan semacam kekhawatiran saya, mungkin juga Anda, bahwa kata ‘Islam radikal’ akan bisa dibawa terlalu jauh dalam praktek kehidupan politik kita sebagaimana kata ‘PKI’.
Setidaknya dua kali, saya pernah mendiskusikannya secara serius dengan Mahfud. Tentu saja sembari ngobrol hal lain. Enaknya ngobrol sama dia, sikap sinis dan kritisnya tidak bisa dikatakan dengan basa-basi. Ya dia memang begitu. Maka kalau kadang ada yang nyelekit, itu konsekuensi ngobrol sama dia. Apalagi jika ngobrol serius hanya berdua atau bertiga dengannya. Mahfud sulit ngobrol serius dengan banyak orang.
Mari kita mulai. Kita boleh berdebat soal apakah PKI sebagai organisasi politik pernah ‘bersalah’ dalam jelujur sejarah sosial bangsa ini. Tapi secara faktual, pelabelan ‘PKI’ dipakai oleh rezim Soeharto untuk segala urusan. Selain tentu saja, apa yang disebut ‘pemberantasan PKI’ telah menimbulkan kerusakan sosial yang luarbiasa di negeri ini. Siapa yang PKI dan yang bukan, di tingkat bawah, sudah beroperasi dengan narasi yang berbeda-beda.
Setelah Soeharto menggenggam kencang kekuasaannya, puluhan bahkan mungkin ratusan ribu orang yang dituduh PKI maupun yang PKI beneran mati, dan puluhan ribu orang lainnya dibuang maupun dibui, mestinya PKI sudah selesai. Sudah tamat. Tapi tidak di bawah rezim itu.
PKI mendadak selalu ada, tidak peduli di mana saja. Masyarakat yang menolak lahan mereka dipakai waduk atau jalan, dituduh PKI. Orang gak mau ikut KB, dituduh PKI. Orang gak mau transmigrasi juga dituduh PKI. Bahkan waktu remaja, saya pernah nonton dangdut, karena saking asyiknya mendekati panggung, para polisi mengusir sambil mentungi kepala kami, dan mereka meneriakkan: PKI, PKI!
Di era itu, PKI yang mestinya sudah tutup buku, mendadak seperti muncul lagi. Tapi tidak pernah benar-benar ada. Kalau kita pelajari lebih serius, masuknya modal besar dengan meminta jaminan tidak ada lagi unsur kiri di Indonesia, dijawab Soeharto dengan praktek yang buas. Bahkan bukan hanya itu, setiap modal kecil yang masuk ke setiap jengkal lahan desa, dan ada yang berani menolaknya maka mereka adalah PKI.
‘Islam radikal’ sebagai sebuah cap, bisa berpotensi seperti ini. Kita tentu bersepakat bahwa kita semua menghujat terorisme yang memakai alasan apapun, mau alasan Islam atau yang lain. Tapi pelabelan ‘Islam radikal’ bisa bergerak dan digunakan sebagaimana rezim Soeharto menggunakan istilah ‘PKI’.
Dan saya sudah terlalu banyak mendengar istilah ini asal dibunyikan saja. Kalau kita sebagai warganegara tidak mulai kritis dan bahkan kalau bisa sih punya sikap sinis seperti Mahfud, maka istilah itu bisa dikeluarkan secara liar untuk menggebuk apa saja sebagaimana istilah PKI digunakan pasca-Soeharto memenangi laga politik.
Kalau ada orang menolak tambang lalu berteriak ‘Allahu akbar’, jangan-jangan bisa digebuk dengan tuduhan penganut ‘Islam radikal’. Semua yang berhubungan dengan perebutan hajat hidup masyarakat bisa dirampas dengan mudah kalau jidat mereka sudah dikasih stempel ‘Islam radikal’. Kalau ini sudah terjadi, maka penguasa punya dua stempel, tinggal mana yang paling pas digunakan: PKI atau Islam radikal.
Sudah hampir dua tahun hal ini saya obrolkan dengan Mahfud. Awalnya hanya kekhawatiran. Tapi makin ke sini, kekhawatiran itu makin mengental. Tentu kalau saya bukan soal Islamnya atau radikalnya, substansinya adalah makin banyak modus pelabelan untuk merebut hak hidup masyarakat. Islam radikal, mungkin hanya salah satunya.
Tiba-tiba saya kangen ngopi sama Mahfud. Mungkin karena saya merasa ada yang kurang di hidup kita sekarang ini. Ketika seniman atau sastrawan atau apapun itu, sudah tidak lagi bisa menjadi cermin bening untuk membantu melihat gejolak masyarakatnya. Sudah terlalu banyak yang kehilangan hati nurani di negeri ini.