Ini bukan catatan untuk Hari Ibu
Kemarin, saya tiba di rumah ketika Magrib. Saya dikejutkan oleh sesuatu yang agak asing di rumah, sebuah kursi berwarna biru di depan televisi.
Tentu saja saya terharu. Lalu saya memeluk istri saya dan mengucapkan selamat hari ibu.
Rumah kami kecil. Kami bahkan tidak punya ruang tamu. Saya tidak punya ruang untuk bekerja. Istri saya yang dulu berprofesi sebagai seorang desainer interior lalu membuat konsep untuk menyikapi itu. Ia memfungsikan gazebo kecil di belakang rumah kami untuk menerima tamu, dan mendesain meja makan yang juga mungil sekaligus sebagai tempat saya bekerja di rumah.
Kursi santai yang dihadiahkan kepada saya itu untuk menyelesaikan persoalan kecil supaya saya tidak perlu “membongkar” sofa yang sekaligus bisa berfungsi sebagai tempat tidur jika saya mau menonton film atau televisi. Sofa serbaguna itu kami beli sebagai persiapan jika ada kerabat yang menginap di rumah kami. Istri saya juga bisa menyikapi secara cerdik bagaimana rak-rak buku bisa terpasang dengan apik tanpa kehilangan fungsi utama sebagai penopang buku-buku, sehingga kami tidak perlu lemari buku yang pasti tidak kompatibel dengan rumah kami.
Saya dan istri saya adalah dua dunia yang berbeda. Sebagai ilustrasi, begini saja. Lima tahun kami berpacaran jarak jauh. Saya di Yogya, pacar saya yang kelak jadi istri saya ini di Jakarta. Suatu saat ketika sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia, saya menelepon pacar saya, agar ia datang karena beberapa teman saya butuh tumpangan mobil. Usai pemakaman, malamnya, pacar saya itu mengirim SMS: Mas, sebetulnya siapa sih Pramoedya itu, kok yang layat banyak dan seru…
Ilustrasi kedua. Seperti biasa, setiap berkunjung di Jakarta, saya sering diajak pacar saya untuk ikut mengecek proyek-proyeknya. Waktu itu ia bekerja di salah satu perusahaan interior terkemuka di Jakarta, di daerah Kemang. Saya terbengong hanya karena istri saya sedang membahas persoalan engsel pintu ke pihak developer. Saya mencoba menyimaknya dan nyaris tidak paham dengan apa yang mereka obrolkan. Kira-kira kalau saya sarikan dan saya masukkan ke ilmu humaniora: engsel pintu itu punya mazab. Kalau engsel pintu saja punya mazab, bagaimana dengan pintu, jendela, lantai, tembok, atap, tangga dll? Tapi yang paling syok tentu saja soal harga. Saya baru tahu kalau ada meja kecil, saya lupa apa istilahnya, seharga 300 juta. Saya juga baru tahu kalau orang-orang kaya itu jika merombak dapur atau ruang tidur mereka, bisa menghabiskan uang miliaran rupiah. Kalau mereka kelak, setahun atau dua tahun, merasa bosan lagi, dirombak lagi.
Tentu saja, mengantar istri saya menghadapi klien-kliennya sering membuat saya kikuk. Tapi ia selalu memperkenalkan saya ke mereka dengan nada bangga: “Ini pacar saya, ia seorang penulis.”
Ketika kami menikah, istri saya meninggalkan pekerjaannya, memilih tinggal di Yogya dan sangat percaya bahwa saya, suaminya, bisa menghidupi keluarga kami dengan profesi sebagai penulis. Fase itu sebetulnya adalah salah satu fase yang membuat saya gentar menghadapi hidup. Tapi ya kami jalani saja.
Semalam, ketika mau ke kamar mandi, saya melewati foto ini. Segera saya jepret karena sedang sesuai dengan suasana hati dan posisinya pas. Foto pernikahan kami berdekatan dengan buku tentang Sunan Kalijaga. Anak laki-laki kami, punya nama panggilan Kali.
Sebelum menikah, saya sudah sepakat dengan istri saya, jika punya anak laki-laki, akan kami beri nama: Bisma. Jika dua: Bisma dan Karna. Kedua nama itu berasal dari tokoh pewayangan yang saya kagumi. Persoalannya, ketika anak pertama kami lahir, kami butuh nama kedua. Tidak mungkin hanya kami beri nama Bisma saja. Di situlah saya “berburu” nama. Pilihan pertama nama anak saya adalah Bisma Bismillah. Iramanya pas. Maknanya, kami suka. Saya berkonsultasi ke beberapa orang yang saya anggap tahu soal agama Islam, apakah secara adab ini tepat? Akhirnya saya putuskan tidak memakai nama tersebut.
Pilihan kedua: Bisma Sosrokartono. Nama kedua ini adalah tokoh yang saya kagumi juga sejak masa remaja. Dan karena kehendak langit, istri saya ada pertalian saudara dengan beliau. Makam kedua eyangnya ada di kompleks Seda Mukti, Kudus. Sehingga setiap saya nyekar ke makam eyang istri saya, saya berkesempatan untuk sekaligus nyekar di makam Sosrokartono. Kali itu, saya meminta istri saya untuk berkonsultasi dengan keluarga besarnya. Intinya, nama tersebut tidak jadi kami pakai.
Tinggal satu. Alternatif ketiga. Dan kami tidak punya alternatif keempat. Bisma Kalijaga. Saya juga mengagumi Sunan satu itu. Bukan ke soal keislamannya tapi ke soal perjalanan hidupnya yang dari bengal ke alim. Keteguhannya menjaga tongkat sebagai pintu mencari ilmu. Dan terutama jiwa seninya. Ia menggubah lagu, menganggit cerita-cerita wayang bahkan menciptakan tokoh-tokoh pewayangan baru.
Entah kenapa, pilihan ketiga ini paling lancar. Awalnya, anak saya dipanggil Bisma. Tapi kemudian kami panggil dengan nama: Kali.
Kini kami berada di sini. Sebuah keluarga kecil dengan kisah yang panjang, yang sebagian kecil saya catat. Pagi ini, istri saya pergi bersama Kali. Mereka berdua pergi ke Warung Mas Kali, dilanjutkan ke kantor KBEA untuk berkoordinasi proses pindahan dari kantor lama ke kantor baru.
Sementara saya di rumah. Mencatat kisah ini sambil menyiapkan materi rapat yang akan saya jalani hari ini.
Mari kita nikmati…