Persis dua puluh tahun sebelum pecah kerusuhan berbau sentimen agama di jazirah Maluku, sebuah penelitian lapangan usai dilakukan dan disimpulkan. Karena sifatnya yang genting, temuan lapangan itu sempat dipresentasikan ke beberapa lembaga negara. Tapi hasilnya nihil. Tak ada tindak lanjut. Baru ketika dua puluh tahun kemudian kerusuhan meletus di wilayah yang terdiri dari 1.000 lebih pulau itu, dokumen penelitian ini dikaji kembali. Semua telah telat. Korban telah jatuh.
Penelitian lapangan itu kelak terbit dengan judul Orang-orang Kalah (Insist Press, 2004), disunting oleh pemimpin peneliti, Roem Topatimasang. Para peneliti adalah orang-orang di bawah jaringan Baileo, sebuah lembaga jejaring pendidikan kritis yang ada di hampir semua titik penting di Maluku (Ambon, Haruku, Kei, Tanimbar, dll).
Dari sekian kesimpulan di penelitian itu, tidak ada yang mengarah ke persoalan agama. Di Maluku, persoalan agama diterima dengan sangat lentur bahkan melebihi kelenturan yang terjadi di Jawa dan Sumatra. Anda bisa ikuti contoh-contoh kelenturan itu tiap hari selama bulan Ramadan kemarin di Jawa Pos.
Sebagian besar orang selalu menyederhanakan setiap konflik dengan istilah “provokasi” atau “desain”. Kedua istilah itu terlalu diberi beban sehingga membuat kita malas mencari pokok soal. Mudahnya begini. Provokasi dan desain tidak akan bisa bekerja kalau tidak ada kondisi yang pas. Api tidak menyala di kayu basah. Api mudah membara di dalam sekam. Sementara itu, kita sibuk mencari bagaimana cara api dinyalakan tapi tidak pernah peduli dengan situasi sosial di wilayah tersebut. Kenapa ada sekam? Kenapa kayu basah bisa kering? Apa yang menyebabkan itu semua?
Hal yang sama juga tidak pernah ditanyakan ketika konflik Poso meletus. Bahkan pertanyaan sederhana misalnya: Kenapa Poso? Kenapa tidak di kota lain?
Saya berharap kejadian di Tolikara, tidak lagi membahas bagaimana api bisa bekerja dan menyala.
***
Setiap konflik sosial punya akar dan musabab yang rumit. Saling bertindih. Tapi kita beruntung karena selalu ada kaum intelektual yang sanggup membongkar dan menstrukturkan, sehingga kita bisa mengenali pohon persoalan. Makin jelas mana yang akar, batang, dahan, dan ranting. Kadang-kadang warna daunnya pun bisa kita kenali.
Tolikara adalah isyarat bagi orang-orang yang mau berpikir. Kalau mau jujur sejak dalam pikiran, ideologi “pembangunanisme” yang dioperasikan oleh rezim Suharto, tidak pernah berubah. Era Reformasi sampai sekarang yang terjadi adalah otak-atik modifikasi, pergeseran aktor, dan sedikit “kreativitas” sentuhan teknis.
Dan sialnya, tidak banyak perubahan di kepala kita yang mudah sekali mendakwa dan menyetempel “Islam radikal”, “belum maju”, “konflik agama”, dll. Maka model solusinya selalu serupa, yaitu dialog keagamaan dan antar-iman. Daun persoalan yang dipangkasi. Padahal jauh daun dari akar.
Sedangkan hal yang kita hadapi sekarang sudah tidak sepele lagi. Rentetan konflik sosial yang terjadi di Maluku, Kalimantan, Poso, dll, yang ketika itu sudah mendapatkan model modifikasi baru, sekarang sedang menuju ke titik rentan baru. Ibarat beranda yang mau roboh, hanya kita sangga dengan satu tiang bambu baru, dan tiang penyangga itu sudah rapuh. Ditambah dengan beban-beban risiko pembangunanisme yang makin dinamis. Rembang, Batang, Urutsewu, Yogya, dll yang banyak sekali itu. Kasus-kasus yang acapkali hanya dikomentari: Kita percayakan kepada hukum yang berlaku. Seolah meja pengadilan adalah meja yang paling steril dari kepentingan.
Sayang, selama ini kita hanya menganggap persoalan-persoalan di kota-kota tersebut hanya sebagai persoalan kecil semata. Tidak akan menimbulkan kontradiksi yang tajam, yang jika kelak muncul ke permukaan, kita hanya bisa bilang: semua gara-gara Islam radikal. Padahal kalau Anda belajar sejarah Islam, persoalan pokok konflik Islam sejak zaman pasca-Muhammad, bukan soal perbedaan tafsir dan ideologi. Tapi soal rebutan kekuasaan. Persoalan kue ekonomi. Lagi-lagi yang seperti itu tidak pernah kita baca.
Hal itu akan makin parah karena kita lebih suka pada gosip, asumsi-asumsi awal, konspirasi, purwasangka, dibanding ilmu pengetahuan dan kajian mendalam.
Saya tempel tautan di bawah ini, hasil kajian George Junus Aditjondro tentang konflik Poso. Saya juga berharap Insist Press bisa membagikan versi digital Orang-orang Kalah tentang akar konflik di Maluku, sehingga kita bisa belajar banyak dari persoalan-persoalan konflik sosial di Indonesia.
Jika kita pelajari betul hasil kajian yang kritis dan mendalam tentang konflik sosial di indonesia, maka kita juga makin tahu, konflik itu bisa terjadi di mana saja. Termasuk di kota atau kampung Anda.
https://drive.google.com/file/d/0B2oYgW0rppk-ODJLZW5va2lBS28/view?pli=1