Saya menunggunya di beranda belakang pendapa Insist untuk mewawancarainya sore itu. Ia muncul dari rumahnya yang mungil, yang hanya sepelemparan batu dari pendapa Insist dengan busananya yang khas, memakai kaos oblong dibalut jaket katun lengan panjang, dan berkain sarung. Suasana mendung saat itu. Bau hujan sudah tercium. Sebentar lagi, pendapa Insist yang terletak di kaki Gunung Merapi itu pasti akan diguyur hujan.
Roem Topatimasang, lelaki berusia lebih dari setengah abad itu langsung duduk di dekat saya. Tak lama kemudian, Pak Edi, sopir Insist, menghidangkan teh poci kegemaran Roem. Sedianya, Roem akan membuat catatan epilog untuk buku ini. Tetapi flu yang menyerangnya lebih dari seminggu yang lalu, belum menunjukkan gejala untuk menyingkir dari tubuh laki-laki Bugis itu. Wawancara yang saya lakukan, dimaksud untuk mengganti catatan epilognya.
“Setiap teknologi apapun, tidak pernah dirancang oleh pembuatnya untuk menjadi alat advokasi atau alat pengorganisasian.” Ia langsung menjawab pertanyaan saya dengan tenang, menyangkut fenomena facebook yang marak akhir-akhir ini, terutama semenjak ‘berhasil’ menggalang solidaritas untuk penyelesaian kasus Bibit-Chandra dan Prita Mulyasari.
Ia lantas menjelaskan bahwa semua teknologi bergantung kepada para aktivis di dalam menggunakan peranti-peranti tersebut untuk tujuan membantu tugas yang harus ditunaikan. Roem lantas berkisah, ketika di tahun 1980an ia menggunakan video sebagai alat untuk mengorganisasikan masyarakat di daerah Maluku, Papua dan Timor, ia banyak mendapatkan pertanyaan, mengapa ia menggunakan alat itu? Ia menjawab, semua itu untuk mempermudah aktivitasnya.
“Alasan penggunaan media itu adalah alasan praktis, sedangkan di balik penggunaan media itulah terdapat alasan ideologis,” ujar aktivis yang pernah mencicipi penjara Orde Baru saat ia terlibat dalam momentum aksi Dewan Mahasiswa 1978/1979.
Akan mudah baginya, menjelaskan masyarakat di sana, tentang bagaimana kapitalisme bekerja di kota besar. Lewat video, ia dengan gampang mempertontonkan bagaimana tema itu terjadi dalam kehidupan sehari-hari di kota, misalnya bagaimana seseorang yang masuk bank hanya dengan sebuah tas yang tidak berisi apa-apa, tetapi begitu keluar dari bangunan tersebut, tas itu sudah berisi penuh dengan uang.
Hal seperti di atas yang disebutnya sebagai ‘azas utilitas’ bagi seorang aktivis. Jika memang bahasa menjadi kendala, maka ada banyak peranti yang bisa digunakan, misalnya saja dengan gambar, slide, foto maupun video untuk membantu memaparkan dan menjelaskan persoalan.
Roem merupakan satu dari segelintis aktivis yang masih setia dengan kerja pengorganisasian. Ia menjelajah di hampir seluruh wilayah Indonesia, di wilayah Asia bahkan di beberapa wilayah dunia untuk melakukan kerja-kerja tersebut. Tak heran, ia mempunyai segudang pengalaman menyangkut penggunaan media sebagai alat pendidikan dan pengorganisasian masyarakat.
Di kalangan kawan-kawan dekatnya, Roem dianggap memiliki ketrampilan memfasilitasi pendidikan dengan baik. Ia bahkan bisa melakukan proses fasilitasi pendidikan hanya dengan media gambar tangan, ketika partisipannya tidak bisa menggunakan bahasa Inggris atau Indonesia, sedangkan Roem tidak bisa menggunakan bahasa lokal.
Lebih dari 30 tahun bekerja di akar rumput, terutama di daerah Indonesia Timur, puluhan organisasi lokal telah muncul dengan kawalannya. Dari Sumatra sampai Papua, selalu ada ‘jejak-jejak’ kerjanya berupa organisasi yang masih awet sampai sekarang. Sepanjang tiga dekade itu pula, berpuluh buku, baik sebagai penulis mandiri maupun sebagai penyunting, telah lahir dari tangan dinginnya. Beberapa buku bahkan menjadi semacam buku klasik buat para aktivis, seperti buku Mengorganisir Rakyat, yang ia tulis bersama Tan Jo Hann, seorang aktivis dari Malaysia; Mengubah Kebijakan Publik; Sehat Itu Hak; Orang-orang Kalah, Ken Sa Faak; dan juga Sekolah Itu Candu yang menjadi buku laris semenjak diterbitkan sepuluh tahun lalu sampai sekarang. Selain itu, puluhan alat lain berupa slide dan video, serta ribuan foto, telah dihasilkannya, baik secara mandiri maupun bersama tim.
Lalu saya bertanya soal transformasi alat atau teknologi untuk masyarakat yang menjadi subyek bagi pengorganisasian, bukankah sebagai produk peradaban, masyarakat setempat juga berhak menggunakannya?
Roem langsung mengiyakan. “Kita tidak bisa menghalang-halangi masyarakat untuk menggunakan alat-alat itu. Persentuhan mereka atas peranti itu niscaya terjadi. Mereka juga tidak boleh hanya sebagai konsumen dan obyek semata bagi peranti tersebut. Maka yang penting dilakukan oleh setiap aktivis yang menggunakan media tertentu, apalagi yang berbau teknologi tinggi adalah mengenalkan alat tersebut, apa kegunaannya, bagaimana cara menggunakannya. Namun yang paling penting lagi, memberi pengertian ke mereka bahwa alat-alat itu bisa dimaksimalkan untuk kepentingan mereka.”
Tidak heran, dan itu sering membuat pusing para rekan yang tidak sepaham dengan misi dan prinsip Roem di dalam bekerja, dibuat pusing karena alat-alat untuk pendidikan maupun pengorganisasian selalu diminta Roem untuk ditinggalkan bagi masyarakat setempat. Banyak pihak yang merasa sayang atau dengan dalih lain misalnya bagaimana jika rusak? Menjawab hal seperti ini, Roem hanya bisa bilang dengan enteng, kalau alat tersebut tidak ditinggal itu sama artinya dengan menjadikan masyarakat sebagai obyek proyek, dan jika alat itu rusak tidak mengapa: wajar saja suatu barang rusak dalam proses belajar.
Kembali ke persoalan facebook, Roem merasa senang dengan dinamika yang terjadi di dunia situs jejaring sosial itu. Sebab masyarakat menggunakan alat modern itu untuk melawan.
“Hanya saja,” tegasnya, “menurut pendapat saya, fenomena itu belum bisa disebut sebagai gerakan sosial. Hal itu baru pada tahap penggalangan opini dan melakukan solidaritas. Itu baru cikal bakal gerakan sosial.”
Menurutnya, yang ia pahami tentang gerakan sosial atau perubahan sosial mempunyai syarat pokok: berubahnya stuktur dan relasi kekuasaan. “Sudah adakah hal itu terjadi pada kasus Bibit-Chandra dan Prita?”
Saya tidak menjawab, sebab pertanyaan itu tidak ditujukan kepada saya.
Mas Parjono, salah satu staf Insist mendatangi meja kami. Ia menyampaikan jadwal perjalanan Roem ke Singkawang, Kalimantan Barat, yang akan dilakukannya beberapa hari mendatang. Mereka bercakap sejenak. Hujan mulai turun.
***
Selain dikenal dengan konsistensi dan integritasnya di dalam gerakan sosial, Roem juga dikenal sebagai orang yang kuat bekerja. Ia tahan duduk selama dua minggu untuk mengerjakan sebuah buku yang ia rancang, tulis, sunting, bahkan sampai me-lay out. Kalau sudah seperti itu, ia bisa tahan tidak tidur selama 3 hari. Kalaupun toh tidur, paling hanya beberapa jam di atas kursi kerjanya.
Ia selalu bersemangat jika diajak berbincang soal pengorganisasian, advokasi atau pendidikan, tiga tema yang selama ini digelutinya. Suaranya keras, gamblang, tanpa tedeng aling-aling kalau sudah berbicara persoalan-persoalan seperti itu, dengan caranya yang khas, menggebrak-gebrakkan tangannya di atas meja, yang bagi orang yang tidak terbiasa bertemu dengannya mungkin mengira kalau ia sedang marah.
Seperti itulah yang terjadi senja itu bersama saya. Saking semangatnya, rokok yang dipegangnya selalu tidak jadi ia sulut, karena selalu ada yang ingin ia sampaikan, atau segera menjawab pertanyaan saya dengan spontan.
Roem tidak percaya, pengorganisasian masyarakat bisa dilakukan lewat dunia maya. “Itu hanya pemicu. Setelah itu, aksi harus dilakukan orang secara langsung. Mereka harus bertemu, bertatap muka, menyusun program bersama, berbagi peran, melakukan evaluasi. Dan itu tidak mungkin dilakukan di dunia maya. Itu hanya bisa dilakukan di dunia nyata!”
Ia berhenti sejenak. Lalu meneruskan dengan suara agak pelan, “Kalau tidak, semua itu bisa terkena ilusi. Itu pernah terjadi saat milis marak di dunia gerakan. Banyak orang menulis dan berdiskusi di sana, seakan-akan dunia berubah hanya dengan cara seperti itu.”
Para eksponen aktivis yang sudah berhasil menggalang solidaritas dan pembentukan opini di jagat maya, menurut Roem, harus segera menindaklanjuti kerja tersebut di dunia nyata. “Mereka harus merumuskan apa yang sebetulnya hendak mereka ubah.”
Tanpa tindaklanjut seperti itu, Roem khawatir yang terjadi adalah, “Para aktivis gampang membuat klaim, dan berilusi bahwa apa yang telah mereka lakukan di dunia maya mampu membuat perubahan mendasar.”
Roem lantas memberi contoh, untuk kasus Prita misalnya, bagi para aktivis ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Kasus itu bisa dijadikan contoh yang akan dibawa ke wilayah tertentu, “Ini lho ada persoalan tentang Prita di bidang kesehatan. Bagaimana hal ini bisa kita lakukan di wilayah kita?”
Bagi Roem, RS Omni Internasional hanya salah satu kasus di bidang pelayanan kesehatan. Padahal yang dihadapi oleh jutaan rakyat Indonesia bukan rumahsakit seperti Omni Internasional, melainkan puskesmas-puskemas dan rumahsakit-rumahsakit daerah.
Lalu jika aktivis menindaklanjuti hal itu, mulailah terjadi interaksi antara aktivis dan subyek masyarakat untuk membicarakan persoalan mengenai kesehatan di lingkup mereka. Bisa dimulai dari mencoba menjawab pertanyaan mendasar: apa sih sebetulnya kesehatan menurut definisi masyarakat? Semua orang ingin hidup sehat, tetapi definisi kesehatan itu sendiri haruslah masyarakat yang menentukan dan merumuskan, tidak memakai parameter-parameter dari pihak luar. Lalu setelah itu dibuat desain kerja dan program bersama. Dan semua itu kemudian bisa diukur dari perubahan relasi dalam bidang kesehatan di lingkup tertentu, misalnya yang selama ini masyarakat sebagai obyek dari program kesehatan, berubah menjadi subyek pelaku kesehatan.
Roem memang menyadari betul hal seperti ini tidak gampang dilakukan, sebab sebagian besar aktivis sekarang hanya peduli pada perubahan-perubahan skala besar di tingkat negara, yang sebetulnya itu sangat niskala sifatnya.
Para aktivis itu mungkin sudah mulai termakan oleh propaganda yang dilakukan oleh para pakar komunikasi yang cenderung menyesatkan dengan slogan mereka: Kuasailah media maka Anda akan menguasai pendapat umum dan bisa mengubah dunia. Menurut Roem, itu sesat pikir. “Pendapat umum itu tidak pernah bisa mengubah dunia, hal itu hanya membentuk kondisi awal jika ingin melakukan perubahan!”
Mungkin hal itu benar di tingkat elit politik dalam konteks perebutan suara pemilih. Tetapi dalam konteks perubahan sosial tidak seperti itu. “Kalau benar pemberitaan media bisa mengubah dunia, dari dulu dunia sudah berubah. Memang betul, Obama terpilih karena itu, tetapi apakah ada perubahan struktur ketika Obama terpilih menjadi presiden?”
Sialnya mantra seperti itu banyak dipercaya oleh para aktivis, oleh karena itu tampil di televisi, menjadi hal yang dianggap sangat penting.
***
Hujan masih turun dengan deras. Azan Magrib sudah berkumandang sejak beberapa menit lalu. Roem masih tampak bersemangat menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.
Roem lalu mencontohkan persoalan gerakan antikorupsi di Indonesia. “Apa yang dilakukan ICW itu pantas didukung.” ICW yang dimaksud adalah Indonesia Corruption Watch, sebuah lembaga non-pemerintah yang menjadi garda depan dalam isu pemberantasan korupsi. Diisi oleh barisan aktivis muda yang kritis, ICW sangat berhasil melakukan kerja-kerja pengawasan dan pengkritisan kasus-kasus korupsi di Indonesia.
“Namun, jika di tingkat lokal tidak ada organiser atau lembaga yang bekerja untuk isu itu, mustahil negara ini akan bebas dari korupsi.” Ia lantas mencontohkan, beberapa saat lalu, ada aktivis ICW yang didatangkan ke Merauke untuk menganalisa kasus korupsi di sana. “Analisanya tajam dan bagus. Tetapi begitu aktivis ICW pulang ke Jakarta, tidak ada orang lokal yang menindaklanjuti, sehingga hanya menjadi isu hangat sesaat, temporer sifatnya.”
“Semua orang di sana bisa bilang kalau korupsi itu jelek. Tetapi jika tidak ada yang mengerjakan langsung hari demi hari, ya korupsi tetap jalan terus.” imbuh laki-laki penyuka masakan dari ikan itu.
Saya kemudian bertanya, sebuah pertanyaan yang saya tahu akan pelik untuk dijawabnya, “Apakah Pak Roem optimistis dengan perkembangan dunia gerakan sosial di Indonesia?”
Benar apa yang saya duga. Laki-laki di depan saya itu butuh waktu untuk diam sejenak. Lalu dengan suara lirih ia berucap, “Kalau optimistis ya harus. Tetapi jujur saja, melihat kecenderungan yang ada, saya tidak bisa berharap begitu banyak. Perkiraan saya, dalam sepuluh atau dua puluh tahun ke depan akan tetap begini-begini saja: ada kasus, bikin gerakan, dipikir sudah berhasil, ditinggalkan, muncul kasus lain, bikin gerakan lain lagi, ditinggalkan, begitu terus. Tetapi di daerah-daerah tertentu, muncul aktor-aktor lokal yang mencoba membuat perubahan di lingkup lokal. Di saat itulah saya merasa cukup optimistis. Makanya saya melakukan konsentrasi kerja di sana. Memang sangat lamban. Tetapi apa boleh buat, itu yang harus dilakukan.”
Kemudian saya bertanya, bagaimana caranya agar seorang aktivis punya daya tahan yang cukup lama dan punya energi yang selalu cukup untuk melakukan itu semua.
Kali ini pun, Roem terdiam sejenak. Sebelum kemudian menjawab, “Awalnya saya percaya bahwa itu soal ideologi. Tetapi lama-lama saya berpikir bukan itu. Ideologi kan juga berkembang di kepala setiap orang. Pertama menurut saya itu adalah soal pilihan dan sikap hidup. Kalau sudah memilih, mau digoda dengan apa saja, seseorang harus tetap pada sikap yang telah diambilnya. Kedua, itu soal konsistensi. Jangan gampang terpancing fenomena sesaat, yang mengubah pilihan kita. Nah, untuk itulah diperlukan tiga hal penting: pergaulan, sistem sosial dan pendidikan.”
Pergaulan yang dimaksud adalah, pintar-pintar memilih teman, sehingga terbangun sebuah atmosfir yang saling menyemangati, membantu, solidaritas, dan kontrol antar-teman. Sederet hal itulah yang kemudian menjelma menjadi sistem sosial, sekalipun di lingkup yang kecil dan terbatas, di sebuah organisasi atau komunitas. Dalam hal itu pula terjadi proses pendidikan, saling berbagi pengalaman, mendiskusikan banyak hal dan mencari jalan keluarnya. Dengan demikian, setiap angota komunitas akan mempunyai karakter, tidak gampang terombang-ambing, dan bisa menentukan sikap dan jalan hidup yang telah dipilihnya.
“Apakah ada di dalam sejarah masa lalu Pak Roem yang membuat Anda memilih jalan seperti sekarang ini?” tanya saya lebih lanjut.
“Mungkin ada. Tetapi kalau pengalaman seperti itu yang dijadikan pertimbangan seseorang untuk menjadi aktivis, itu bisa berbahaya. Sebab yang terjadi bisa saja kemarahan, balas dendam dan hal-hal yang tidak konstruktif. Pilihan itu harus dilakukan dengan kesadaran, kedewasaan, dan itu ada pengaruhnya pada dengan siapa kita bergaul.”
Namun Roem menyadari betul bahwa fase manusia dari usia kanak-kanak sampai remaja, mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam perkembangan seorang manusia. “Oleh karena itu,” paparnya, “kita harus menciptakan sistem sosial yang kondusif bagi masa-masa penting itu. Hal itu harus dipikirkan oleh para aktivis gerakan sosial.”
Lalu saya kembali untuk masuk inti wawancara saya perihal facebook. Segera Roem menimpali dengan cepat, “Banyak orang bertanya kepada saya, mengapa saya tidak menggunakan media dunia maya? Saya menjawab, saya menggunakannya tetapi dengan terbatas. Sebab saya sadar betul keterbatasan setiap alat, termasuk dunia maya. Saya tahu, dunia maya mempunyai batas atau limitasi hanya sampai pada penggalangan opini. Selebihnya, pada tahap do the real things, sudah harus kerja di dunia nyata.”
Setiap aktivis, kata Roem, harus menyadari fungsi dan batas alat yang digunakannya. “Kalau perlu, jika sudah tidak cocok ya harus ditinggalkan. Itu kan hanya alat. Ingat, the media had the own limit.”
***
Hujan mulai reda. Saya tahu, Pak Roem belum makan seharian. Tetapi saya masih belum menyudahi wawancara saya dengannya.
“Pak, apakah aktivis zaman sekarang lebih mudah dibanding saat Pak Roem mulai masuk ke dunia aktivis lebih dari 30 tahun yang lalu?”
“Ya, tentu saja lebih mudah. Situasi politiknya sudah berubah, alat semakin canggih, namun pertanyaannya: kenapa kemampuan gerakan sosial sekarang tidak lebih baik dibanding 30 tahun lalu?”
Menurutnya ada banyak soal, selain persoalan yang telah diungkapkan di bagian atas tulisan ini, di mana para aktivis terjebak untuk hanya fokus pada pembangunan opini. Namun ia juga menekankan bahwa wacana modern ikut memberikan kontribusi yang besar dalam konteks ini, yakni menghilangkan hal-hal yang sifatnya substansial dan menggantikannya dengan hal-hal yang bersifat artifisial.
“Oleh karena itu, aktivis sekarang sebaiknya melakukan konsentrasi kerja di bidang pendidikan, terutama pendidikan non-formal.” Sebab menurutnya, di bidang pendidikan formal, ada hal yang sangat penting yang ‘dihilangkan’ yakni soal analisa struktur dan relasi kekuasaan. Organisasi-organisasi rakyat dan LSM sebaiknya lebih serius menggarap soal pendidikan ini.
Ia juga menambahkan, sebaiknya juga ada sikap kritis terhadap diri sendiri bagi organisasi-organisasi tersebut, mencakup lingkup gerakan sosial. Skala besar seperti tingkat negara, regional maupun internasional sebaiknya segera dipikir ulang untuk kemudian bekerja di lingkup yang lebih lokal, baik itu kabupaten, kecamatan bahkan di tingkat desa. Selain problem di wilayah-wilayah itu lebih riil, juga diuntungkan dengan adanya otonomi daerah.
Dengan tandas Roem mengatakan, “Jangan sampai daya dukungnya lebih baik, alatnya lebih canggih, tetapi tidak diiringi dengan ketajaman melihat substansi permasalahan.”
Kalimat itu memungkasi percakapan kami. Roem segera bangkit ke dapur di sebelah pendapa, bergabung dengan Saleh Abdullah yang ketika hujan reda memancing ikan dari kolam di dekat pendapa Insist. Mereka berdua memasak pepes dan sup ikan.
Malam itu, saya tidak segera pulang. Rugi rasanya, tidak ikut menikmati hasil masakan Roem yang terkenal lezat itu.
oOo
Catatan: Wawancara ini dilakukan saat geger kasus Prita Mulyasari dan Cicak-Buaya.