Setelah keluhan Mas Seno Gumira Ajidharma tentang Jakarta yang penduduknya rela dalam kehidupan serba-macet kemudian bersedia mengakhiri karir dengan uang pensiun tak seberapa, Minggu kemarin Mas Bre Redana menyusul menumpahkan kekesalannya atas Jakarta lewat tulisannya di Kompas. Dia memuji Yogya dan Magelang, kemudian kembali merutuki Jakarta yang kerap macet itu. Sehingga “kebudayaan” juga macet.
Sebelumnya, saya sempat bertemu juga dengan Mas Agus Noor. Usai iseng-iseng bikin acara membaca cerpen bareng, sambil ngobrol bersama Pak Ong Harry Wahyu dan Mas Gunawan Maryanto, penulis naskah acara teve Sentilan Sentilun ini juga mengeluh: Di Jakarta susah nongkrong ngobrol ngalor-ngidul seperti yang saat itu sedang kami lakukan. Semua serba harus pasti agendanya. Sebab terbayang, untuk ketemuan saja, seseorang harus rela macet berjam-jam. Baik ketika pergi maupun pulang. Selain menyediakan waktu dan energi yang cukup, dia juga harus menyediakan uang yang cukup.
Kawan saya yang bekerja di Jakarta juga pernah bilang ke saya, “Mas, saya ini kalau di Yogya, bawa duit 50 ribu di dompet, pede sekali. Kalau di Jakarta bawa duit 200 ribu rasanya masih waswas.”
Empat hari lalu, yunior saya yang menjadi redaktur di sebuah media massa terkenal di Jakarta, saat menikmati dingin bir, dia mendesah sambil bilang, “Enak sekali ya di Yogya. Damai…” Mungkin kalau tidak malu, sebentar kemudian pasti dia menangis. Dia tampak menikmati Yogya, tempatnya kuliah dulu. Juga pacaran.
Jadi di mata para orang-orang yang tinggal di Jakarta itu, Yogya adalah kota yang damai, nyeni, tidak macet, asyik, dan berbudaya. Karena mereka hidup di kota yang macet, tidak asyik, tidak nyeni dan tidak berbudaya seperti Jakarta.
Saya kira pandangan ini tidak adil. Pertama, jelas setiap kota punya persoalan sendiri-sendiri. Kedua, sebuah kota tidak bisa dilihat dari kerangka kecapekan. Jakarta yang macet itu, mungkin juga indah bagi orang Yogya yang sedang liburan di sana. Bagi orang yang terbiasa hidup di Jakarta, mungkin Yogya indah karena dilihat dari orang yang sedang bosan terhadap Jakarta. Atau dia sedang liburan. Buat orang-orang seperti itu, Yogya sangat eksotik untuk barang seminggu dua minggu. Tapi belum tentu mereka tahan hidup di Yogya sebulan atau dua bulan. Apalagi setahun atau dua tahun.
Banyak teman saya yang memutuskan pindah dari Jakarta ke Yogya tapi tidak tahan juga dan akhirnya mereka balik ke Jakarta lagi. Saya dulu juga merasa paling nyaman hidup di Bali. Ternyata saya hanya kuat tinggal di sana kurang dari tiga bulan. Saya kira sebuah kota ditakar bukan hanya dari persoalan lalu-lintasnya.
Dan kenyataannya, baik Mas Seno, Mas Bre dan Mas Agus Noor pun tetap saja mencari penghidupan di Jakarta. Juga dua teman saya di atas.
Suatu saat, teman saya dari Jakarta begitu ketemu saya di Yogya langsung protes: Kok Yogya mulai macet, sih?!
Nah, kan… Dia ingin sebuah kota bergerak sesuai dengan keinginannya. Saya kira itu sebuah persoalan.