Siang ini, saya baru meyadari kalau telah tinggal di Yogya hampir 20 tahun. Lebih banyak tahun yang saya habiskan di sini daripada di kampung halaman saya sendiri.
Dari 20 tahun itu, saya hanya pernah tinggal kurang-lebih 2 tahun di kota Yogya. Selebihnya saya habiskan di Sleman. Bagi kebanyakan Anda yang belum begitu paham Yogya, mungkin sering keliru menarik garis teritorial antara Sleman dengan daerah lain. Mudahnya, kalau Anda ke Alfamart, Indomaret atau Circle K mencari bir ternyata tidak dijual di ketiga gerai tersebut, berarti Anda masuk wilayah Sleman. Hanya di Sleman pula, Indomaret bisa berdampingan dengan Circle K dan langsung berseberangan dengan Alfamart. Hanya di Sleman, Supermarket Mirota bisa berdampingan dengan Superindo. Rukun ya? Ndasmu.
Maka kadang saya berpikir. Dalam huru-hara isu Yogya ora didol itu sebetulnya yang paling layak diprotes Pemda Kota Yogya atau Pemda Sleman? Coba direnungkan dulu. Jangan langsung mbesengut. Baru diajak mikir dikit saja kok mau mbrakot.
Tapi apapun yang terjadi dengan Sleman, saya sangat mencintai wilayah ini. Saya minum dari air Sleman terutama cocok untuk bikin kopi tubruk, menghirup udaranya, menjelajah keindahan telatahnya. Saya belajar percaya bahwa Borobudur itu tinggalan Nabi Sulaiman dan bekas kerajaan nabi yang paling makmur itu kini bernama Sleman. Halah guyon… Jangan mbentoyong gitu dong…
Kuliner Sleman tidak kalah dengan kuliner dari Bantul dan Kota Yogya. Kalaupun kalah karena kalah “jubir” dan kekeliruan anggapan teritorial. Bacem kepala kambing yang misuwur itu di Sleman. Brongkos yang rasanya ngedab-edabi itu ya di Sleman. Gudeg Sleman juga berani bertanding dengan gudeg-gudeg lain dari kota Yogya dan Bantul. Jangan salah, gudeg Wijilan yang dianggap ikon Yogya itu jelas-jelas dibuat oleh orang Sleman.
Menurut saya, Sleman lebih kosmopolitan dibanding 4 kabupaten/kota yang lain di Yogya. Dugaan saya, ini disumbang oleh universitas-universitas besar yang ada di Yogya Utara: UGM, UII, UPN. Di situ mereka kuliah, di sekitar itu pula mereka ngekos. Dan hanya di Sleman pula, terdapat lajur jalan terpanjang dengan putaran perekonomian yang luarbiasa besar: Jalan Kaliurang atau biasa disebut Jakal. Di situ berderet rumah makan dan kedai kopi yang variatif. Jajaran kedai kopi di Jakal hanya bisa dikalahkan oleh kawasan Seturan. Dan jangan salah, Seturan itu masih wilayah Sleman. Maka kalau ada lomba banyak-banyakan kedai kopi di seluruh Indonesia berbasis kabupaten/kota, Sleman bakal jadi juara satu. Pasti.
Menurut saya, Jalan Kaliurang adalah jalan yang paling romantis. Kalau malam-malam, Anda lapar, langsung saja keluar rumah. Ada gudeg perempatan Jakal-ringroad yang pas dengan lidah Pantura saya. Kalau suntuk, tinggal ngeslah motor lalu ngopi di kedai-kedai kopi yang menyajikan biji-biji kopi dengan kualitas istimewa.
Bagi Anda yang suka kerja nglembur, pagi di Jakal adalah pagi yang memikat. Dengan siluet Merapi yang kokoh, kadang kabut tipis turun, lalu Anda bisa makan gudeg atau bubur di pinggir jalan atau dibawa pulang. Indomie goreng di warung Burjo yang ada di Jakal saja enak, apalagi makanan lain…
Menurut saya pula, tidak ada hujan yang melebihi khusyuk dan hikmat-nya hujan di Sleman, khususnya di Jakal. Di wilayah ini, sepertinya hujan turun dengan cara dan aroma yang berbeda. Lebih lembut dan lebih wangi dibanding air hujan dari daerah lain.
Dengan menggeser tatapan, maka kita bisa melihat, Jakal punya karakter yang memperkaya jalan-jalan di Yogya terutama Jalan Malioboro dan Jalan Solo. Jalan Kaliurang adalah jalan ketiga yang perlu Anda susuri ketika Jalan Malioboro dan Jalan Solo terlalu pikuk buat Anda.
Jika Anda terlalu lelah menghadapi hidup ini, cobalah menyusuri Jalan Kaliurang. Kalau perlu dengan berjalan kaki. Biar Anda bisa tahu bahwa 25 kilometer itu panjang juga. Apalagi dengan kontur tanah agak menanjak.
Selain romantis, jalan Kaliurang adalah jalan melankolis. Jalan yang biasa dipakai orang-orang patah hati untuk menghibur diri. Jalan di mana para pencinta menjatuhkan airmata.
Jika Anda bersedih, cobalah datang ke Jalan Kaliurang. Jangan lupa sangu bir dari kota Yogya atau dari Bantul.
Siapa tahu sedih Anda hilang. Kalau tambah sedih ya anggap saja sebagai cobaan…
Foto:
Mangut lele “Mamiku”, Jakal Km 8, belakang toko Mekar.