Semalam, saya, Hasbi, dan Rifqi, berangkat ke Solo. Formasi yang sempurna karena tak ada satu pun yang paham seluk-beluk kota itu.
Setelah tersesat beberapa kali, akhirnya kami sampai juga ke Gudeg Ceker tujuan kami. Tapi masih tutup. Masih 3 jam lagi baru buka. Akhirnya kami mencari angkringan terdekat. Di Solo, angkringan disebut “Hik”.
Ada sekira 10 orang yang sedang ngehik. Ada yang main catur, ada yang asyik main hape, ada yang meriung membahas berbagai hal. Sebagai tamu, kami berusaha bersikap ramah dan sopan. Dan mereka pun baik kepada kami. Bahkan kami mencoba dilibatkan dalam obrolan.
“Dari mana, Dik?”
Yogya, Pak…
“Sudah kerja atau masih kuliah?”
Kerja, Pak.
Pria necis, tampan, sekira berumur 50 tahun yang tampak mendominasi obrolan di Hik itu kemudian melempar pertanyaan, lebih tepatnya pernyataan. “Yogya sekarang beda ya, Dik…”
Langsung saja saya menyahut setelah menelan tahu goreng yang saya kunyah: Inggih, Pak, sakmenika asring macet…
“Ora masalalah kuwi, Dik. Yogya ki saiki liar…”
Saya memandang Hasbi dan Rifqi. Mencoba memahami apa yang dimaksud dengan kata “liar”.
“Saya itu, Dik.. Hampir tiap minggu ke Yogya. Selalu saya temukan jam satu atau jam dua malam, cewek dan cowok keluar. Ceweknya masih dasteran. Masih muda-muda. Berarti itu kan mahasiswa-mahasiswi yang kumpul kebo, to?”
Saya nyaris tersedak. Si Bapak sambil merapatkan jaketnya, lalu bicara ke temannya. “Mulane suk kowe nek nduwe anak cewek, aja mbok kuliahke neng Yogya.”
“Lha ngapa?” sahut Si Teman dengan kalem.
“Kowe pengen po anakmu dasteran wengi-wengi njuk boncengan karo cah lanang?”
“Lho nek kuwi ki solusine ora kok njur terus ora dikuliahke neng Yogya…”
“Ha njur solusine piye?”
“Ya ora sah ditukokke daster.”
Kami bertiga membuang muka serempak. Menahan tawa.