Setiap kali ada orang bertanya, bagaimana supaya kemampuan seseorang bisa berkembang, ini pesan saya: Jangan salah milih guru atau mentor, jangan salah milih lingkungan pergaulan, jangan salah milih tempat kerja. Sudah itu saja.
Saya orang yang suka belajar. Saya tahu dengan siapa harus belajar, dan waktunya kapan. Paling sering saya jadikan contoh adalah jika saya berguru kepada Pak Roem. Waktu paling cocok berguru kepada beliau ketika makan malam bersama, berdua. Tapi paling afdol kalau sedang ke kampung-kampung. Apalagi jika sedang berlayar. Ilmunya disebar di sana.
Dalam dunia media digital, saya juga punya dua guru. Mereka punya nama besar dan jam terbang tinggi. Kadang saya yang meminta waktu mereka jika sedang ada acara di Yogya. Kadang saya yang harus menghadap ke manapun mereka minta. Belajar berdua, berhadap-hadapan, berbeda dengan dengan belajar bersama dengan banyak orang. Kalau berdua lebih privat dan lebih keramat.
Salah satu guru saya tadi memanggil. Saya mestinya masih punya tugas. Tapi adab murid, kalau dipanggil guru gak boleh semoyo. Tak boleh menunda. Siap. Ilmu itu mahal. Menurut Gus Baha’ derajatnya tertinggi. Langsung saya berangkat. Dua jam beliau memedar ilmunya. Saya mendengarkan. Sesekali menimpali dan bertanya. Sesekali ‘menantang’ argumennya. Itu sah dan boleh. Guru-guru bijak justru suka kalau kita sesekali menantang argumen mereka. Tapi ya jangan waton sulaya. Itu namanya murid tak beradab dan tak berkualitas.
Pulang dari berguru, saya masih dihadiahi buku hasil karya guru saya. Wah ya makasih…
Makanya waktu Nody mau berguru bisnis buku, sikap saya tegas: Berguru bisnis buku ya ke Pak Edi. Sanadnya jelas. Berguru buku ke Mas Kromoleo atau Om Dodo, jelas salah alamat.
Milih guru tak boleh sembarangan. Hubungan guru-murid itu sakral.
Selamat menunaikan ibadah salat Magrib…