Untuk Bajang dan Pay
Saya perlu menulis ini, sesuatu yang saya anggap penting. Setidaknya bisa mengurangi beban pikiran saya. Malam tadi saya telah melanggar janji. Bagi saya, itu bukan soal sepele.
Kemarin malam, Pay, penulis dari Pontianak yang kebetulan sedang singgah di Yogya, mengabari saya kalau sedang berada di sebuah kedai kopi yang jadi langganan saya. Ia memensyen saya via twiter bersama Bajang, seorang penulis lain dari Lombok yang mukim di Yogya. Tapi kebetulan saya ketiduran, mungkin sejak habis Magrib. Begitu terbangun dini hari, saya lalu membalas kicau mereka. Tapi belum berjanji.
Tadi siang, barulah saya membuat janji lagi-lagi lewat twiter. Malam tadi kami kangsenan untuk bertemu. Bajang menjawab: dibatas jam delapan malam. Pay belum menjawab. Biasanya, kalau saya berjanji dan ada kemungkinan dihagalkan oleh keteledoran saya sendiri, maka saya akan bilang ke istri saya. Misalnya saya janji ketemuan dengan orang jam 9 pagi lalu malamnya saya tidak tidur, maka saya cukup bilangbke istri saya bahwa saya punya janji. Istri saya sangat tahu apa arti janji buat saya. Ia akan melakukan apa saja kalau misalnya saya ketiduran.
Malam tadi, saya tidak bilang ke istri saya kalau saya punya janji. Karena saya merasa bahwa tidak ada hambatan apapun yang mengancam saya untuk ingkar janji. Satu-satunya hambatan adalah hujan. Saya tidak punya jas hujan dan tidak bisa menyetir mobil. Tapi kalau hal itu terjadi, istri saya dengan senang hati pasti mau mengantar saya. Hal seperti itu sudah biasa terjadi.
Lalu yang terjadi adalah seperti ini. Kira-kira jam delapan malam, sambil masih menunggu jawaban Pay dan kabar dari Bajang, saya browsing melalui gajet sambil tiduran. Dan lhesssss…. saya ketiduran. Begitu saya terbangun, saya langsung panik. Benar, jam di gajet menunjukkan pukul tiga kurang sedikit. Sebentar lagi subuh. Lalu saya cek twiter, benar adanya, mereka sudah menunggu saya mungkin sejak pukul sepuluh malam. Saya lihat hp, ada miskol dari Pay. Saya langsung lemas.
Saya meminta maaf lewat twiter, tapi rasanya masih mengganjal. Saya tulis ini sebagian karena dorongan rasa bersalah.
Mungkin ada pertanyaan, sepulas apakah sehingga ketika ditelepon tidak mendengar? Persoalannya, saya selalu ‘membisukan’ hp saya. Saya punya anak laki-laki kecil berumur 19 bulan. Selain saya telat menikah, saya juga sering bekerja di luar kota. Sehingga kalau saya berada di rumah, saya banyak menghabiskan waktu buat keluarga. Saya punya kebiasaan menyentuh salah satu bagian dari Kali, nama anak laki-laki saya, ketika ia tidur. Rasanya damai sekali. Kali tidur tiga kali dalam sehari: kira-kira jam sembilan pagi (mungkin hanya sejam atau paling lama dua jam); kira-kira jam dua siang (juga kurang-lebih dua jam); dan malam hari di atas jam delapan. Karena sering bersama Kali, hp selalu saya setel tidak bersuara dan tidak memakai getaran. Jadi kalau saya tertidur dan ada orang menelepon, pasti saya tidak mendengar.
Kembali ke soal pokok: janji. Saya perlu mengutarakan hal ini karena penting bagi diri saya. Rasanya tidak ada ‘nilai’ yang diajarkan oleh orangtua saya yang sesakral janji. Dari kecil, memenuhi janji sama sucinya bahkan mungkin lebih suci dibanding salat lima waktu. Hal itu yang bisa menjelaskan kenapa saya tidak pernah luput dari tenggat sebuah pekerjaan. Karena tenggat itu janji yang saya sepakati dengan si pemberi pekerjaan. Itu pula yang membuat saya bisa sangat marah baik dengan sahabat maupun kolega kerja saya. Saya bisa mendamprat habis atau menjadi tidak suka dengan orang begitu saya lihat ia ingkar janji.
Untuk menggambarkan hubungan soal janji dan diri saya, mudah sekali. Rasanya, komplain terakhir yang saya dapat dari teman saya soal janji terjadi pada tahun 2001. Dan saya masih ingat sampai sekarang. Saya melanggar janji rapat dengan beberapa adik kelas saya di fakultas Filsafat. Panjang ceritanya. Saya punya alasan kenapa hal tersebut terjadi. Tapi saya sudah minta maaf dan sampai sekarang saya tidak lupa.
Mungkin sebagian martabat saya dan kedua orangtua saya, diletakkan pada janji. Janji itu suci. Janji itu harga diri. Titik. Tidak ada pembelaan.
Karena kuatnya ikatan saya dengan janji, maka nama lengkap Kali adalah Bisma Kalijaga. Bisma, berasal dari bahasa Sanskrit yang artinya: orang yang memeluk teguh janji. Bisma adalah tokoh pewayangan yang sangat saya sukai karena keteguhannya dalam memeluk janji. Terlahir sebagai anak raja, ia bersumpah tidak akan menikah karena ibu tirinya takut kalau ia menikah maka yang punya hak atas kerajaan adalah anak Bisma. Tokoh yg jadi panutan Pandawa dan Kurawa yang ingin membahagiakan bapaknya pun bersumpah tidak akan menikah. Ia tepati sekalipun kelak harus mengecewakan kekasih hatinya.
Hal ini perlu saya tulis selain sebagai bagian dari permintaan maaf kepada Bajang dan Pay, juga mungkin bisa membantu memperjelas kepada teman-teman dekat saya atau kolega kerja saya, kenapa saya bisa sangat marah kalau urusannya sudah pada ingkar janji. Mungkin bagi mereka biasa, tapi bagi saya tidak. Setiap orang punya nilai-nilai utama, prioritas, yang menjaga dan dijaga oleh martabatnya. Saya hidup dengan dijaga oleh janji.
Janji, nilai utama yang diajarkan oleh kedua orangtua saya ini akan saya wariskan kepada anak-anak saya secara sadar. Dan saya tidak ingin merevisinya, mengganti dengan nilai lain.