“Gimana, Mas Thut? Kalau pun toh saya bisa bayar situ, pasti situ ya ndak akan mau to? Ndak akan tega to menerima uang dari saya?”
Laki-laki di depan saya setiap kali mau minum, tangannya dibegar-begarkan mirip para tokoh cowboy yang akan menarik pistol. Setelah itu dia akan menarik lengan baju kemejanya tiga kali, sret sret sret, baru kemudian gelas es teh diangkat, kemudian diseruput. Gayanya sungguh mriyayeni. Berkebalikan dengan mukanya.
“Banyak media massa Jakarta yang mau mewawancarai saya tapi semua saya tolak. Saya hanya butuh situ yang menulis tentang saya walaupun hanya di dinding fesbuk.”
Jari tangan kanannya kemudian bergerak-gerak lagi. Tangan kirinya mengambil bungkus rokok. Jari tangan kanannya ndudut rokok dengan kemayu. Pelan memasang di bibirnya yang selalu berusaha dia basahi. Gesturnya sangat mriyayeni. Berkebalikan dengan mukanya.
“Hanya Mas Thut yang bisa menuliskan saya.”
Kemudian korek gas dinyalakan. Tapi apinya terlalu besar sehingga hampir membakar hidungnya. Ada bunyi kemretek sedikit dan bau sangit tercium. Pasti beberapa bulu hidung laki-laki berusia 35 tahun itu ada yang terbakar.
—
Tidak ada orang yang menjadi perbincangan publik seni di Yogya yang begitu cepat menanjak melebih Andy Sri Wahyudi. Dalam kisaran waktu triwulan, namanya mendadak tenar. Bahkan ada beberapa teman saya di Jakarta yang bertanya, apakah orang bernama Andy itu sopirnya Pak Butet Kartaredjasa atau baturnya Pak Ong. Tentu saya jawab jujur, bukan. Hanya semacam pemantik tawa beliau berdua. Jadi kalau Pak Ong dan Pak Butet sedang butuh hiburan dan ingin tertawa, Andy diminta datang, diberi segelas es teh dan sebungkus rokok, lalu ditanggap. Setelah bisa tertawa puas, Andy disuruh pulang dengan diseseli 50 ribu rupiah.
“Kalau mau serius, profesi pemantik tawa ini bisa membuat Andy kaya, lho…” ujar Pak Ong sewaktu kami makan bakmi Jawa berdua.
“Coba bayangkan kalau misalnya dalam sehari dia bisa menghibur 4 orang saja. Pagi, siang, sore dan malam. Makan pasti gratis. Rokok turah-turah. Berarti dalam sehari dia punya empat bungkus rokok. Kan turah-turah to? Uang dapat 200 ribu rupiah sehari. Berarti sebulan 6 juta rupiah. Bayangkan kalau tahun depan dia naikkan 100 ribu per sesi, kan jadi 12 juta per bulan. Bersih!”
Saya manggut-manggut…
“Belum lagi kalau orang-orang Jakarta yang nanggap dia. Diminta menemani makan siang sambil membuat orang tertawa. Per sesi dia minta bayaran satu juta sampai dua juta. Kan bisa sugih!”
Saya kembali manggut-manggut…
“Lha orang kayak Andy itu memang mau macak jadi apa? Akting ya pas-pasan. Nulis ya elek. Jadi sutradara teater ya jelas tidak kuat otaknya. Satu-satunya yang memungkinkan dan bisa jadi malah membuatnya top adalah membuat jasa pemantik tawa.”
Saya gelegeken…
“Coba situ perhatikan, sekarang ini makin banyak orang kaya yang stres to? Hiburannya apa? Gandrik ya gak mungkin main setiap hari. Nah di situlah peluang Andy.”
Usai menyeruput teh anget, saya bertanya, apa tidak mungkin malah orang yang mengundang kehilangan selera makan mereka begitu mengundang Andy untuk menghibur di meja makan?
“Lho, justru itu bagus. Jadi nilainya malah bertambah menjadi sarana pengaturan diet yang bagus. Jadi orang yang mengundang selain sehat karena tertawa juga sehat karena hanya makan sedikit.”
Saya benar-benar takjub dengan pemikiran Pak Ong.
“Dan dia bisa bukak sekalian jasa katering lho…”
Saya mengernyit. Apa hubungannya?
“Kan makanan yang sudah dipesan tidak jadi dimakan karena selera mereka pasti rusak begitu melihat muka Andy. Nah, dibungkus saja makanannya oleh Andy. Pura-puranya untuk kawan-kawannya. Makanan itu kan makanan kelas atas. Andy bisa ngiderke makanan itu. Apik to?”
“Cemerlang, Pak!”
—
“Gimana, Ndy… Bagus to idenya Pak Ong?” tanya saya kepada Andy barusan di sebuah kedai kopi.
Andy menggoyang-goyangkan kepalanya sambil sepasang matanya mecicil-mecicil. Lama-lama saya jadi ingat luwak. Jan persis luwak. Sumpah.
“Anu, Mas Thut… Sebetulnya itu ide menarik. Tapi situ bisa ngomong ke Pak Ong ndak ya?”
“Ngomong apa?”
“Pertama, kenalan saya kan ndak sebanyak dia. Bisa ndak dia membantu profesi anyar saya sebagai pemantik tawa itu?”
“Ya jelas bisa.”
“Nah yang kedua, kalau bisa Pak Ong jangan minta royalti…”
“Ya ndak mungkin Pak Ong minta royalti. Lha dia itu jane ngeman sama situ…”
“O gitu ya, Mas Thut. Kalau kayak gitu, bisa ndak ya Pak Butet merekomendasikan ke Andy F Noya agar saya bisa jadi bintang tamunya?”
“O jelas bisa! Mbok sekalian acara Mata Najwa juga…”
“Woooh bisa po Mas Thut?”
“Bisa!”
Andy langsung menyalami saya erat-erat. Pamitan. Lalu dengan dada membusung dia ngeslah vespanya. Berkali-kali tidak bisa. Dia sibuk nguthak uthek vespanya yang nyentrik itu. Perasaan saya mulai tidak enak. Lalu saya langsung pergi dari kedai kopi itu.
Begitu sampai rumah, saya lihat ada 6 miskol dari Andy plus satu sms. “Mas Thut, vespa saya mogok, situ ndik mana? Mbok saya direwangi ndorong vespa saya.”
Hape saya matikan. Saya jawab besok saja.