Sekalipun menggunakan mesin ketik sejak SMP, dan kemudian menjadikan penulis sebagai profesi, saya tidak bisa mengetik dengan 10 jari.
Mesin ketik pertama yang saya kenal tentu mesin ketik manual. Saya pinjam dari Bapak. Setahun setelah saya kuliah, saya punya komputer. Tapi kemudian komputer itu saya jual karena krisis ekonomi. Selebihnya biasa saja. Saya beli komputer lagi setelah bisa nyari duit. Awalnya hanya membeli monitornya saja, kemudian mencicil beli komponen yang lain. Menjadi komputer yang lengkap siap pakai, saya butuh waktu hampir 8 bulan.
Selama fase itu, juga fase sebelumnya, jika saya menulis, saya meminjam komputer teman. Atau pergi ke warnet. Sebagian besar cerpen-cerpen saya, dikerjakan di warnet.
Tahun 2005, saya membeli laptop. Saya hanya punya uang 10 juta waktu itu, dan laptop yang saya incar adalah macbook berkelir hitam dengan harga 13 juta lebih. Kekurangannya ditomboki oleh pacar saya yang kelak jadi istri saya. Laptop itu saya “pensiunkan” pada tahun 2013. Belum rusak. Hanya performanya sudah melambat. Maklum sudah dipakai 8 tahun. Tapi saya tak mau laptop itu rusak karena lewat laptop itulah saya punya uang untuk mengontrak rumah sendiri, membiayai sebagian biaya pernikahan kami, membeli sepeda motor dari uang saya sendiri, dan membeli mobil pertama kami setelah berkeluarga.
Terlalu banyak “jasa” dan kenangan laptop hitam itu. Sehingga ketika salah satu orang yang sangat penting di hidup saya bernama Nody Arizona berniat membeli laptop itu, dengan berat hati saya menolaknya. Saya tahu sebetulnya dia mampu membeli laptop yang dua kali lebih mahal dari laptop itu. Tapi niatnya lain. Dia ingin “ngalap berkah” lewat laptop itu. Sayang, terlalu banyak kenangan di mesin tulis hitam itu.
Kemudian saya membeli laptop baru. Dari 2013 sd sekarang, mungkin laptop itu baru saya buka dan pakai kurang dari 100 kali. Tahun 2016 ini saja, baru saya pakai 3 kali.
Semenjak tahun 2014 sd sekarang, saya banyak menulis di hape. Hanya memakai dua jempol tentu saja. Saya menulis apa saja di hape. Termasuk status-status Facebook saya.
Sehingga, dulu saya tidak bisa menulis 10 jari, dan paling menulis dengan menggunakan 6 jari. Tapi sekarang, saya menulis menggunakan 2 jari. Jempol semua. Apakah itu kemunduran? Saya tidak tahu.
Tapi yang jelas, beberapa hari lalu, saya harus menulis agak panjang sampai berbelas halaman. Saya pikir akan lebih mudah menulis dengan menggunakan laptop. Anehnya, saya malah merasa tidak nyaman.
Akhirnya, saya menulis lewat hape dengan dua jempol. Begitulah.