Ki Soponyono terbangun dari tidurnya yang sakliyutan. Dalam tidur yang sebentar di saat dia sedang duduk santai itu, dia mendengar suara.
“Hei, Soponyono! Kalau pendangkalan pemahaman keagamaan terus terjadi di negerimu, tahukah kamu hal apakah yang kelak akan memecah belah negerimu?”
Dalam keadaan bingung, kiai sepuh yang suka terbangun tengah malam untuk mendekatkan diri kepada Tuhan itu menjawab, “Perbedaan partai kah?”
“Bukan!” jawab suara itu menggelegar.
Sambil agak terbata dan takut-takut, kembali Ki Soponyono mencoba menjawab, “Perbedaan agama?”
“Tidak!”
“Lalu apakah itu?”
“Segenggam kacang tanah!”
Ki Soponyono tersentak. Kacang tanah? Segenggam pula? “Bagaimana bisa?” Dia bertanya penuh penasaran.
“Rakyat negerimu kelak akan hancur karena bermula dari berdebat, apakah ketika makan segenggam kacang tanah perlu menyebut nama Tuhan di awal makan kacang; atau setiap kulit kacang yang pecah; atau setiap biji yang mau dikunyah; atau setiap kunyahan!”
Ki Soponyono terdiam. Lalu dia terbangun dari tidur meditatifnya itu dalam keadaan agak linglung.
Kemudian terdengar lagi suara yang sama, “Terus-teruskanlah pendangkalan atas nama Tuhan di negerimu, maka negerimu akan hancur gara-gara segenggam kacang tanah! Camkan itu!”
Ki Soponyono langsung nggeblak. Pingsan. Kacang di mejanya belum dia sentuh sama sekali.